Page

Sabtu, 11 November 2017

MEMBANGUN JARINGAN DAN MENGOMUNIKASIKAN KESADARAN DALAM MANAJEMEN PENGELOLAAN ZAKAT



MEMBANGUN JARINGAN DAN MENGOMUNIKASIKAN KESADARAN DALAM MANAJEMEN PENGELOLAAN ZAKAT
Mini Riset
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Zakat dan Wakaf
Dosen Pengampu: Jauhar Faradis, S.H.I., M.A.




Disusun Oleh:
RISKA YANTY (15830074)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di dalam Q.S Al Ma’idah ayat 3, umat manusia diwajibkan untuk saling tolong menolong dalam hal ini antara si kaya dan si miskin agar tercipta keadilan sosial dan keseimbangan ekonomi, serta mampu menciptakan kesejahteraan, keamanan dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk merealisasikan hal tersebut sebagaimana tertera di dalam Al Qur’an, diantaranya adalah melalui Zakat, Infak, Sadaqah dan Wakaf. Zakat, Infaq, Sadaqah dan Wakaf sendiri oleh beberapa ahli disebut sebagai bagian dari filantropi Islam. Meskipun pada dasarnya praktik filantropi Islam lebih bersifat teologis, namun dalam pelaksanaannya diharapkan mampu memberi dampak sosiologis.
Awal momentum perkembangan filantropi Islam dimulai tahun 1990an, hingga saat ini pertumbuhan filantropi Islam (lembaga-lembaga amil zakat, infaq, sedekah dan wakaf) di Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Di antara lembaga zakat yang cukup dominan menjadi rujukan masyarakat adalah masjid. Besarnya jumlah kaum muslim menjadikan Indonesia merupakan negara dengan jumlah masjid terbanyak di dunia yakni mencapai 800.000 masjid. Dengan demikian, potensi jumlah dana terhimpun pada masjid sangat besar.[1] Tetapi sangat disayangkan, dimana ada masjid justru disitulah potret kemiskinan terlihat dengan nyata. Misalnya saja, di Masjid Istiqlal yang konon merupakan masjid kebanggaan, tetapi disekitar masjid bertaburan pengemis. Maka dapat dikatakan, masjid “telah gagal” dalam melakukan pengelolaan zakat, khususnya dalam hal distribusi dana zakat.
Umat Islam dengan struktur sosial yang sekarang masih belum optimal dalam pengelolaaan dana zakat dilihat dari kemenangan pada kuantitas. Hanya sebagian kecil potensi dana zakat saja yang berhasil dikumpulkan dan didistribusikan kepada yang berhak. Entah di mana letak kesalehan sosial masyarakat muslim, bila melihat betapa pengelolaan dana zakat masih kurang terorganisir. Kemudian muncul isu yang mempertanyakan akan kemampuan sistem zakat sebagai solusi kemiskinan dan pemerataan, dan kemudian diusunglah isu perbedaan dan persamaannya dengan sistem pajak. Sistem penerapan mungkin boleh sama, tapi substansi muatan ibadah jelas berbeda. Pengelolaan dana zakat memang menurut sebagian orang masih belum dapat optimal.
Mini riset ini akan membahas hal yang terkait dengan membangun jaringan ‘sadar zakat’ yang akan mengupayakan dan mempermudah optimalisasi pengumpulan dan pendistribusian dana zakat melalui insfrastruktur umat (masjid to masjid management).

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan masalah di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini ialah:
1.      Bagaimana optimalisasi fungsi sosial masjid?
2.      Bagaimana cara kerja masjid to masjid network management?
3.      Bagaimana jaringan kerja BAZ/LAZ dengan masjid?

C.     Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui optimalisasi fungsi sosial masjid
2.      Untuk mengetahui cara kerja masjid to masjid network management
3.      Untuk mengetahui jaringan kerja BAZ/LAZ dengan masjid


BAB II
LANDASAN TEORI
A.    Pengertian Zakat
Secara etimologis (bahasa), zakat berasal dari bahasa Arab zakat yang berarti berkah, tumbuh, bersih, baik, dan bertambah. Sedangkan secara terminologis (istilah) di dalam fikih, zakat adalah sebutan atau nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah Swt supaya diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq) oleh orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki).[2]
Zakat merupakan konsep ajaran Islam yang berlandaskan AlQuran dan As-Sunnah bahwa harta kekayaan yang dipunyai seseorang adalah amanah dari Allah dan berfungsi sosial. Dasar hukum zakat terdapat dalam Al-Quran dan Hadis antara lain:
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة ۚ وما تقدموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله ۗ إن الله بما تعملون خبير.
Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Baqarah:110).
عن ابن عباس رضي الله عنهما : أن اللنبي صلى الله عليه وسلم بعث معادا رضي الله عنه إلى اليمن فذكرالحديث, وفيه : قد اقترض عليهم صدقة في اموالهم, تؤخذ من اغنيائهم فتردفي فقرائهم. (متفق عليه, واللفظ البخاري)
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Mu'adz ke negeri Yaman, ia meneruskan hadits itu dan didalamnya (beliau bersabda): "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan mereka zakat dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir diantara mereka. (Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari).

B.     Pengertian Filantropi
Secara etimologis, makna filantropi (philanthropy) adalah kedermawanan, kemurahatian, atau sumbangan sosial; sesuatu yang menunjukkan cinta kepada manusia.[3] Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu philos (cinta) dan anthropos (manusia), yang secara harfiah bermakna sebagai konseptualisasi dari praktik memberi (giving), pelayanan (service) dan asosiasi (association) dengan sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta.[4]


BAB III
PEMBAHASAN
Penerapan Teknologi Sistem Informasi: Membangun Jaringan dan Mengomunikasikan Kesadaran
Kewajiban zakat menempati posisi ketiga pada rukun Islam, kemudian sejumlah besar ayat yang berkenaan dengan zakat sering dibarengi dengan kewajiban shalat dan perbuatan perihal kebajikan. Ini artinya, jika ingin sempurna menjadi seorang muslim kita harus kaya. Islam memang tidak membenarkan seorang muslim untuk membekukan hartanya dan tidak lepas dari kewajiban 2,5% wajib zakat. Kumpulan harta zakat kemudian diredistribusikan secara konsumtif maupun produktif tentunya akan meningkatkan investasi. Alhasil mata rantainya akan membentuk pola di mana zakat menghasilkan investasi dan investasi menghasilkan zakat.
Potensi dana zakat sangatlah besar untuk dapat diproses sebagai suatu sistem redistribusi income. Untuk mendukung hal ini, perlu dikembangkan suatu bentuk model mutakhir yang dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah besaran potensi rumah zakat umat. Umat Islam perlu mengembangkan suatu mekanisme komunikasi massa yang mengarahkan konsep strategi dan pemetaan kelompok surplus dan defisit pada setiap jaringan yang ditangani BAZ maupun LAZ mulai pada tingkat terkecil mulai dari keluarga, kelurahan, kecamatan, dan provinsi hingga nasional.
Infrastruktur umat yang pertama kali harus dimanfaatkan adalah masjid, karena hanya masjidlah bangunan yang pasti selalu ada di setiap pelosok daerah Indonesia. Selama ini fungsi dakwah masjid kebanyakan untuk pengumpulan dana zakat masih diwakili oleh “management TOA atau manajemen yang hanya bertumpu kepada pengeras suara masjid”, di mana pada setiap bulan Ramadhan ta’mir masjid bersegera membentuk amil pengumpul dana zakat, untuk kemudian dibagikan pada akhir bulan Ramadhan. Bagitu seterusnya diulang setiap tahun.
Sistem pengurusan zakat di masjid berdasarkan surat At Taubah ayat 18: Hanyalah yang memakmurkan masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah , maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (At Taubah 9 : 18). Perlu diperhatikan bahwa ciri tegaknya syi’ar Islam itu dengan melihat telah berfungsinya masjid. Masjid, di samping sebagai pusat kegiatan ibadah, juga sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi.
Menurut Azra, ( Republika 29 April 2010) secara sejarah sosio-cultural, selama berabad-abad masjid dan pesantren merupakan yang terawal dalam pengelolaan zakat, meskipun secara konvensional. Lebih jauh Sutarmadi (bimasislam.kemenag.go.id 30 November 1999) menyatkan pengembangan ekonomi berbasis kemasjidan telah lama ada dan dikenal di Indonesia. Masjid dan pesantren telah memainkan peranan penting dalam mengelola zakat, sebelum banyaknya bermunculan BAZNAS dan LAZ lainnya. Data dari Kementerian Agama RI tahun 2008 menunjukkan, jumlah masjid di seluruh Indonesia mencapai angka di atas satu juta. Data ini belum termasuk mushalla dan surau lainnya. Ini merupakan jumlah masjid di satu negara yang terbanyak di dunia (www.bimasislam.depag.go.id).
Jaringan yang luas ini merupakan sumber kekuatan yang luar biasa. Menurut Hafidhuddin (www.baznas.or id 24 Januari 2008) masjid selain sebagai pusat kegiatan ibadah, masjid sesungguhnya juga bisa menjadi pusat kegiatan ekonomi dan sosial umat. Secara umum masjid merupakan lembaga yang masih dipercaya oleh masyarakat. Oleh karena para pengurus masjid pada umumnya merupakan pribadi yang dipercaya masyarakat. Tingginya kepercayaan ini, pada hakikatnya merupakan asas potensi bagi pengumpulan zakat. Secara psikologis dan sosiologis pula, masjid merupakan institusi yang memiliki hubungan paling dekat di hati ummat Islam bila dibandingkan dengan institusi lainnya. Akan tetapi, pengelolaan zakat melalui masjid itu kebanyakan bersifat tradisional dan kurang diurus dengan baik. Hanya beberapa masjid yang berada di daerah besar saja yang menerapkan pengurusan modern (www.baznas.or.id). Oleh karena itu sudah diperlukan pengelolaan zakat masjid dengan pengurusan yang lebih luas lagi baik dalam pengumpulan maupun pengelolaannya. (www.pkesinteraktif.com 5 Februari 2010).
Bagaimanapun juga tindakan melarang masjid dalam mengumpulkan zakat adalah sesuatu yang tidak mungkin; kerana masjid sangat erat kaitannya dengan zakat. Keberhasilan zakat yang dikelola masjid merupakan ukuran bagi kemakmuran masjid itu sendiri. Lebih jauh Shobahussuhur (www.mesjidagung alazhar.com 25 May 2010) menyatakan Masjid jangan pernah dijauhkan dari upaya mengatasi problem umat. Agar terus berkembang, masjid seharusnya mengadopsi paradigma pengelolaan berdasarkan tata-kelola yang baik (good governance), yang meliputi aspek-aspek profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, partisipatif, dan berorientasi pada khair khidmah (khidmat terbaik) untuk kepentingan jama'ah dan ummat (Shobahussuhur dalam www.mesjidagung alazhar.com 25 May 2010) . Oleh sebab itu di Indonesia melalui BAZNAS, kerajaan memberikan latihan dalam pengurusan zakat yang lebih baik lagi (ww.baznas.or.id 2010). Dalam pengelolaan zakat di masjid, biasanya dibentuk suatu jawatankuasa yang disebut unit pengumpul zakat (UPZ) yang dilantik oleh dewan kemakmuran masjid (DKM). UPZ masjid ini adalah transformasi dari UPZ mitra BAZNAS yang disinergikan dengan masjid (based on location). UPZ merupakan mitra penghimpunan zakat, sesuai amanah UU zakat no. 38 tahun 1999 (Subianto dalam www.baznas.or.id 24 January 2008). Kerena itu pada tahun 2008 Majelis Ulama Indonesia, BAZNAS, Dewan Masjid Indonesia, Badan Pengelola masjid Istiqlal, Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan lainnya, telah bersepakat untuk menubuhkan suatu gerakan memakmurkan masjid dengan UPZ sebagai ujung tombak.[5]
Model Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid
Masjid merupakan tempat orang berkumpul melakukan sholat secara berjamaah, dan meningkatkan solidaritas serta silaturrahmi di antara sesama kaum muslim. Di masa-masa kejayaan Islam, masjid bukan saja menjadi tempat sholat, tetapi menjadi pusat kegiatan kaum muslim seperti pemerintahan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan, dan kemiliteran.
Masjid juga berfungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam seperti diskusi, mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama serta pengetahuan umum. Namun, sudahkah peran dan fungsi masjid dapat kita hadirkan untuk menjawab tantangan umat masa kini? Menurut catatan Departemen Agama, terdapat sekitar 700.000 buah masjid yang tersebar di tanah air. Bila setiap masjid dapat membuka lapangan pekerjaan dan memperkerjakan rata-rata 200 orang per tahun, maka akan ada 140 juta orang yang lepas dari pengangguran per tahunnya. Sudah saatnya institusi masjid menambah perannya sebagai basis pendidikan moral masyarakat yang didorong menjadi basis pengembangan ekonomi masyarakat agar memungkinkan masyarakat memperoleh pendapatan secara lebih halal dan berkah. Setiap pengelola masjid, didorong untuk menyusun sebuah proposal pengembangan ekonomi masyarakat sekitar dengan didukung oleh BAZ dan LAZ dari aspek pendanaan. Tentu saja, pengelolaan secara transparan dan professional, merupakan prasyarat berjalannya idealisme ini secara berkelanjutan. Kita patut bersedih dengan jumlah masjid yang besar, tetapi lembaga wakaf dan zakat sebagai sumber pendanaannya, masih berjalan sendiri-sendiri. Belum lagi, setiap lembaga ingin menonjolkan dirinya sendiri, menambah rumitnya masalah masyarakat.
Fungsi Masjid
Pertama, kondisi riil yang sering membuat kita terkejut dengan fenomena keterlantaran masjid yang selalu menanti uluran tangan. Benarkah asumsi bahwa masjid adalah Rumah Allah itu kemudian menjadikan masjid justru tidak berdaya lantaran manusia yang lepas tangan? Dalam bagian ini, pembaca juga akan menemukan makna masjid yang sesungguhnya, masalah-masalah yang dihadapi dan bagaimana pula masjid dalam lintasan sejarah Islam. Gagasan yang disampaikan pada bab ini meliputi keprihatinan mendalam jika memperbandingkan fungsi masjid pada zaman Rasulullah dengan masa sekarang. Ada apa dengan kita? 
Kedua, masjid adalah sistem sosial Islam. Bagaimanapun, karena berhubungan dengan kebutuhan spiritual dan ekspresi keagamaan, masjid kemudian menjadi salah satu instrumen sosial dalam kehidupan umat Islam. Oleh karenanya, masjid sebagai salah satu pranata sosial Islam lebih ditekankan pada ketimpangan yang terjadi antara fungsi masjid yang seharusnya dengan apa yang terjadi senyatanya. 
Ketiga, Jika dilihat dari fungsi masjid itu sendiri, paling tidak, kita akan menemukan fungsi-fungsi masjid ada 7 (tujuh) fungsi antara lain; sebagai tempat shalat, sebagai tempat untuk menjalankan fungsi sosial-kemasyarakatan, fungsi politik, fungsi pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pengembangan seni dan budaya yang bernuansa Islam.  
Keempat, masjid pada zaman sekarang, dapat dikategorikan—bukan didasarkan pada pengkelasan—berdasarkan pada wilayah lingkungan masjid. Diantara beberapa kategori masjid itu ialah; masjid di pusat kota, masjid instansi pemerintah, masjid kampus, masjid pedesaan, masjid di pusat kegiatan ekonomi dan masjid wisata. Masing-masing masjid ini memiliki peluang untuk dikelola secara profesional berdasarkan ukuran-ukuran yang ada dan bersifat khas antara yang satu dengan lainnya. 
Kelima, manajemen masjid diartikan sebagai pengelolaan masjid dengan menerapkan berbagai fungsi manajemen dan serangkaian aktivitas manajemen dalam lingkup masjid. Oleh karenanya, sub pembahasannya pun terdiri dari organisasi dan manajemen masjid yang bertutur tentang apa, bagaimana dan untuk apa penerapan manajemen masjid. Kemudian, sebagai lembaga keagamaan yang terorganisir, masjid juga membutuhkan mekanisme administrasi yang mempersyaratkan adanya tata kerja yang profesional dan terarah. Salah satu contoh sederhana dikemukakan pada sub pembahasan selanjutnya, misalnya bagaimana memanajemeni imam, khatib dan muadzin, dari segi ekonomi misalnya bagaimana menggerakkan koperasi berbasis jamaah masjid. Tidak ketinggalan, sebagai proses manajemen, dalam masjid yang dikelola dengan baik, semestinya dibangun pola hubungan dengan lembaga luar sehingga tercipta sebuah kerjasama yang menguntungkan. 
Keenam, ketika manajemen telah diaplikasikan dalam masjid secara baik, tentunya kita dapat membebaskan masjid dari keterlantaran. Islam sangat memperhatikan kesejahteraan umat, pemberdayaan umat, khususnya dalam bidang ekonomi. Hal ini dapat ditempuh melalui masjid sebagai salah satu instrumen pembangun ekonomi umat Islam dengan menyediakan kesempatan setiap umat atau jamaah untuk ikut andil dalam aktivitas ekonomi berbasis masjid. 
Ketujuh, jika kita kembali pada makna “ta’mir masjid” sebagai bagian dari tugas umat Islam yang pada hakikatnya mengandung dua dimensi; tawhîd dan amal shaleh. Bukan semata profesionalisme, apalagi untuk kepentingan komersial, justru dalam pandangan penulis ta’mir masjid juga berarti ta’mir ummah, dan dalam kerangka inilah Islam muncul dalam karakter rahmatan lî al-‘âlamîn.
Menyimak firman  Allah dalam surat At-Taubah:18 di atas juga dalam ayat lain (seperti memakai pakaian indah untuk memasuki masjid (QS. A’raaf:31), bertebaran kemuka bumi mencari karunia Allah setelah shalat; (QS. Al-Jumu’ah:10) dan begitu banyak ayat yang merangkaikan perintah shalat dengan membayar zakat),  Selayaknya dimaknai sebagai tugas kita bersama untuk tidak saja memakmurkan masjid tetapi juga memakmurkan jamaah masjid.
Tugas seperti ini tentu saja tidak bisa dilakukan sambilan apalagi di saat umur sudah udzur dan tantangan ekonomi yang sangat kompetitif.
Di sisi lain masjid sesungguhnya mempunyai fungsi dan peranan yang “unik”, pada masa Rasulullah semua fungsi kehidupan baik ibadah maupun muamalah dilaksanakan di masjid, penegasan agar orang senantiasa ke masjid paling tidak untuk shalat berjamaah di awal waktu sangat banyak. (pahala berlipat, langkah ke masjid menghapus dosa dan mengangkat derajat dan sebagainya). Kesadaran berjamaah tersebut juga sangat khas karena dilandasi prinsip ukhuwah (QS. Al-Hujurat:10), persamaan derajat (Al-Hujurat:13), Imamah dan akhlakul karimah.
Secara umum, walaupun belum berfungsi secara optimal masjid merupakan basis penting untuk pengelolaan zakat dengan beberapa alasan, yaitu :
  • Lokasinya berada disekitar masyarakat dan dimiliki oleh masyarakat
  • Jejaring relatif lebih mudah dibentuk.
  • Dengan adanya data jamaah, kelompok masyarakat yang menjadi sasaran jelas. (baik muzaki maupun mustahik)
  • Sumber dana dan alokasi dana oleh karenanya dapat dilakukan secara transparan.
Oleh karena pengelolaan zakat adalah tugas syariah yang khusus. Hal ini penting agar pesan syariah sebagaimana dipesankan banyak ayat dan telah dicontohkan Rasul serta para sahabat dapat dirasakan juga keberhasilannya. Ayat Allah dalam al-Qur’an surat Al-A’raaf : 156 “…… Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami". rasanya sangat penting untuk memperkuat tekad kita dalam memakmurkan masjid dan jamaah masjid.
Keterkaitan pengelolaan zakat dengan pengembangan instrumen keuangan lain seperti BMT dan lembaga keuangan lain sangatlah penting. Zakat selain dimanfaatkan untuk konsumtif sebagaimana diamanatkan oleh QS. At-Taubah : 60, juga untuk kepentingan yang sama dapat dilakukan produktif khususnya untuk asnaf miskin. Orang-orang miskin yang mempunyai kemampuan usaha atau telah mempunyai usaha kecil tetapi tidak punya agunan untuk berhubungan dengan lembaga keuangan dapat bekerjasama dengan lembaga pengelola zakat pada tahap awal, dan apabila telah berkembang usahanya dapat meneruskan hubungan bisnis tersebut dengan BMT atau BPRS. Jejaring ini selayaknya dapat bersinergi sampai ke jamaah masjid untuk memberikan akses seluas-luasnya, apalagi apabila ada dukungan pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan.
Masjid Sebagai Jejaring Zakat
Dengan demikian, masjid memiliki peran yang strategis sebagai komunitas zakat (BAZ/LAZ).  Namun saat ini, masih rendahnya perolehan zakat pada badan amil zakat antara lain dipengaruhi masih belum optimalnya peran sosial masjid, padahal masjid memiliki dua peran, yakni sebagai tempat beribadah dan silaturahim serta pengumpulan zakat.
Untuk itu, diperlukan empat langkah untuk dapat menaikkan perolehan zakat berbasis masjid, yakni;
Pertama, sosialisasi kepada masyarakat bahwa pembayaran pajak seperti yang dipraktekkan di zaman Khulafaur Rasyidin dikelola oleh petugas amil.
Kedua, penguatan kelembagaan terkait petugas amil zakat yang lebih amanah dan kredibel dalam mengelola zakat.
Ketiga, pendayagunaan sumberdaya yang ada, dan
Keempat, sinergi antara semua komponen baik masyarakat, pemerintah maupun pihak lainnya.
Dalam pengembangan masjid sebagai komunitas zakat, diperlukan pemetaan masjid dan potensinya di tengah masyarakat. Masjid yang berlokasi di daerah perumahan yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor jasa, akan memiliki potensi yang berbeda dengan mesjid yang berlokasi di wilayah yang didiami oleh mayoritas petani atau nelayan. Analisis yang tepat akan menggiring pada pemilihan aktivitas ekonomi yang tepat.
Selama ini, memang banyak faktor yang mempengaruhi belum optimalisasi peran masjid sebagai komunitas zakat/(BAZ, LAZ, UPZ). Salah satu penyebab adalah  paradigma umat yang memandang fungsi masjid terpisah dari dinamika kehidupan sehari-hari. Selain itu adalah karena kegiatan masjid itu sendiri yang belum dikelola secara baik dan profesional seiring dengan kebutuhan jamaah dan masyarakat di sekitarnya.
Oleh karena itu, perlu upaya menyadarkan dan menggerakkan umat agar kembali ke masjid harus dilakukan simultan dengan pembenahan manajemen masjid itu sendiri. Dewasa ini gerakan kembali ke masjid dapat dijuga dimaknai sebagai upaya peningkatan kesejahteraan umat berbasis masjid. Kegiatan pemberdayaan ekonomi umat berbasis masjid dapat diwujudkan seperti pembentukan koperasi masjid, pelayanan zakat, pelayanan kesehatan bagi jamaah yang tidak mampu, dan pemberdayaan aset masjid sebagai wakaf produktif yang semuanya itu perlu dikelola  secara baik.
Pada sisi lain, masjid merupakan ruh dari gerakan dakwah. Dakwah tidak semata-mata memberikan ceramah dan pengajian saja, tapi juga mewujudkan solusi Islam terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi umatnya. Dalam kerangka ini kita baru dapat merasakan peran masjid sebagai pusat ibadah dan sentral solusi masalah kehidupan umat.
Peran ideal masjid seperti digambarkan di atas, tidak lahir begitu saja, tetapi perlu diupayakan bersama oleh semua komponen dalam masyarakat.
Untuk itu,  pengurus masjid harus proaktif menggerakkan potensi jamaah dan umat dengan membuat program dakwah, majlis taklim, pembinaan remaja, dan berbagai bentuk pelayanan jamaah yang terprogram secara baik.
Dengan kata lain, pengelolaan masjid harus dilakukan secara profesional. Profesionalitas merupakan hal yang tidak boleh ditinggalkan, dan dengan profesionalitas kita akan mampu mengembangkan dan mengimplementasikan fungsi masjid sebagaimana mestinya.[6]
Dari sini harus segera mulai disusun dan direncanakan langkah awal, yaitu program optimalisasi fungsi masjid, sehingga kita tidak perlu lagi memikirkan bagaimana membuat lembaga-lembaga khusus yang bergerak mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat umat, setelah ada BAZ maupun LAZ. Desain proyek ini bisa mencanangkan dengan tahapan berikut.[7]
A.    Optimalisasi Fungsi Sosial Masjid
Selama ini dikebanyakan masjid, fungsi ta’mir hanya sebagai petugas azan, ikamah, imam, khotbah Jumat dan jika ada kegiatan plus plus fungsi sosial tidak jauh dari penyelenggaraan TPA dan perayaan hari-hari besar umat Islam. Proyek penggalangan dana yang dilakukan sejumlah besar masjid pun masih melalui kotak amal. Budaya seperti ini harus segera direorganisir untuk mengoptimalkan pola kerja ta’mir masjid dan bentuk-bentuk kelembagaan masjid lainnya, khususnya untuk yang berkaitan dengan penggalangan dan penyaluran dana zakat umat. Beberapa hal yang bisa dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1.      Kelembagaan masjid, baik yang diwakili oleh ta’mir masjid ataupun lainnya, dapat mencoba membuat database kesejahteraan dan kemiskinan para jamaahnya. Database keluarga defisit dan keluarga surplus ini bisa dimanfaatkan oleh kelembagaan filantropi pada daerah tertentu untuk kepentingan pengembangan sistem informasi pengumpulan dan penyaluran dana zakat. Atau bahkan dapat dimanfaatkan oleh masjid itu sendiri untuk pengelolaan dana zakat atau lainnya seperti infak dan sedekah.
2.      Organisasi ta’mir masjid atau lainnya menyusun kalender pelaksanaan zakat terpadu, baik untuk zakat Fitri maupun zakat mal, untuk mengingatkan jamaah kelompok surplus calon muzaki akan waktu haul. Ketetapan penanggalan ini sama halnya dengan ketetapan waktu pelaksanaan sholat lima waktu, yang biasanya sudah dikelola secara profesional oleh kelembagaan masjid.
3.      Organisasi kelembagaan masjid dapat menjadi corong pengeras suara sistem komunikasi masa untuk sosialisasi pelaksanaan kewajiban zakat yang sekarang terus digalakkan. Masjid adalah kelembagaan umat yang paling dekat dengan komunitas muslim. Selain ceramah, dakwah bisa dilakukan menggunakan media dan instrumen informasi modern yang dapat mengomunikasikan kepada mereka akan kewajiban zakatnya sebagai seorang khalifah di muka bumi. Untuk seruan ini, siapa pun punya kewajiban untuk menyampaikan, baik mukminin maupun mukminat.
B.     Masjid to Masjid Network Management
Kecenderungan fenomenal yang terjadi sekarang yaitu walaupun satu masjid dengan lainnya bertetanggaan, tetap saja tidak ada keterkaitan (organizing) kerja antara masjid tersebut. Kesibukan mereka terkungkung oleh budaya saling meninggikan pengeras suara, memperindah bentuk fisik masjid, sedangkan kekosongan jamaah ataupun lainnya yang menjadi substansi dalam peningkatan kesalehan individu dan sosial kurang diperhatikan. Drs. H. R. Maulany, SH. (2002) menyitir bahwa disfungsi sosial pengelolaan masjid memunculkan sejumlah kesenjangan sebagai berikut:
1.      Kesenjangan dalam memfungsikan masjid. Masjid-masjid Allah belum difungsikan sebagaimana mestinya sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Pada umumnya yang terjadi, masjid difungsikan hanya untuk kegiatan ibadah ritual sedangkan kegiatan ibadah sosial kemasyarakatan belum banyak diperbuat. Banyaknya jumlah masjid di tanah air belum seimbang dengan banyaknya langkah dan aktivitas/usaha untuk memberdayakan masjid.
2.      Kesenjangan dalam organisasi kemasjidan. Organisasi kemasjidan Dewan Masjid Indonesia (DMI), sebagai organisasi yang menerima amanah dalam pembinaan profesi pengelola masjid (DKM) dan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) sebagai organisasi yang menerima amanah tanggung jawab operasional kegiatan masjid, belum mampu berfungsi secara optimal dalam memberdayakan masyarakat.
3.      Kesenjangan dalam beribadah di masjid. Pada umumnya dalam beribadah di masjid, jamaah lebih banyak cenderung melaksanakan kegiatan ibadah ritual dan terbatas sekali dalam melaksanakan kegiatan ibadah sosial dalam memberdayakan masyarakat.
4.      Kesenjangan program masjid. Pada umumnya program kegiatan yang dilaksanakan di masjid bersifat rutinitas ibadah ritual, shalat berjamaah, zikir, dan lain-lain. Sedangkan program dalam kegiatan ibadah sodial kemasyarakatan mengenai, pemberdayaan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan, dan lain-lain yang merupakan tuntutan kebutuhan bagi kehidupan jamaah/umat kurang terprogramkan.
Maksud dari masjid to masjid network management adalah bagaimana antara satu masjid dengan masjid lainnya dapat berkoordinasi dalam suatu daerah pengumpulan zakat. Hampir setiap masjid selalu punya jamaah tetap, yaitu umat Islam yang memang terbiasa untuk shalat di masjid tersebut. Untuk itu, dalam pengelolaan database, upaya pengumpulan dan penyaluran dana zakat sudah seharusnya dibuat aturan koordinasi khusus antara satu masjid dengan masjid lainnya. Mengingat dalam satu daerah akan dapat ditemukan dua sampai tiga masjid.
Koordinasi akan lebih elegan bila dari beberapa masjid yang ada pada daerah tertentu ditunjuk satu masjid yang berlaku sebagai masjid induk yang bertugas mengoordinasi masjid-masjid di seputarnya. Adanya manajemen yang mengatur antara satu masjid dengan masjid lainnya akan mempermudah sistem distribusi dana zakat, baik yang dilakukan langsung oleh masjid tersebut atau yang dikoordinasi oleh LAZ maupun BAZ.
C.     Jaringan Kerja BAZ/LAZ dengan Masjid
Cakupan wilayah kerja BAZ biasanya sangat terbatas, artinya budget amil akan sangat terkuras bila harus menjaring daerah-daerah pelosok yang biasanya justru menuntut perhatian. Sedangkan justifikasi menetapkan hak amil hanya 1/8 atau 12,5% saja dari dana yang terkumpul, alokasi dana ini akan cukup minim untuk biayanya oprasional yang dikembangkan oleh BAZ padahal besar 1/8 ini sangat bergantung kepada besaran hasil pengumpulan dana zakat itu sendiri.
Semakin banyak daerah yang dijangkau akan semakin besar kemungkinan untuk menggalang dana lebih banyak dan akan semakin besar pula bagian yang diterima amil. Dengan adanya hubungan tersebut, bisa disinergikan dengan kelembagaan masjid, sebagai kelembagaan yang paling luas jaringannya. Sistem sinergi ini dalam istilah manajerial disebut sebagai grantmaking strategy oleh Presiden Dompet Duafa Rahmat Riyadi. Kehadiran BAZ di era sekarang sungguh sangat membantu muslim surplus untuk melaksanakan kewajiban ibadahnya dan sekaligus menjaga hak muslim defisit.
Dalam kaitannya dengan jaringan sangat penting untuk memerhatikan kajian sistem informasi yang berkaitan dengan transfer knowledge (pengalihan pengetahuan) dalam sebuah jaringan organisasi. Efektivitas kerja BAZ/LAZ dapat dikendalikan pengoptimalannya jika bisa bertumpu pada jaringan yang mapan untuk pengelolaan informasi, dengan adanya informasi pemetaan antara garis pemisah muslim yang surflus dan muslim yang defisit dapat menjadi objek untuk mentransfer antar lembaga-lembaga Amil Zakat. Kepercayaan pemerintah dengan mengundang-undangkan permasalahan sistem pengelolaan zakat sudah cukup untuk menjadi modal ummat untuk bisa mengorganisir sistem pelaksanaan zakat.
Dengan adanya setruktur organisasi yang demikian akan memudahkan pendataan dan distribusi dalam mengalokasikan dana zakat, dalam kontek ini ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi jika pengorganisasian seperti ini dilakukan diantaranya sebagai berikut:
a.                          Pemerintah Indonesia akan dengan mudah mempetakan kantong-kantong kemiskinan di Indonesia berikut potensi kelompok yang surflus.
b.                          Perdayaan guna zakat yang terkumpul dalam dana zakat bisa dilakukan dengan lembaga amil terdekat yang berkordinasi dengan masjid sebagai distribusi peribadatan resmi umat Islam.
c.                          Karena zakat mengandung sisitem haul, maka data yang ditransfer berikut pendataannya akan mengalami perubahan (up-dating) setiap tahunnya dengan demikian pemetaan akan dapat dilakukan dengan mudah oleh pusat.
Dalam pengumpulan dana zakat ini, pihak BAZ membuat UPZ (Unit Pengumpul Zakat) di masjid-masjid di sekitar kota. Dengan pemberian edukasi yang rutin kepada pemuka agama dan kepala desa beserta masyarakat di sekitar masjid. Diharapkan dapat menyadarkan mereka akan pentingnya zakat serta mau mengeluarkan 2.5% penghasilannya untuk zakat. 
Pengumpulan maupun penyaluran zakat tersebut diberikan keleluasan untuk amil masjid masing-masing. Berapapun dana yang diperoleh dan kemana dana itu disalurkan itu merupakan hak amil masjid masing-masing. Pihak BAZ akan mengawasi, mengontrol, mengajari pencatatan arus kas zakat, dan mengumpulkan data pengumpulan dan penyaluran zakat. 
UPZ ini dilakukan untuk memudahkan para muzakki yang ingin berzakat. Karena terkadang timbul rasa malas atau tidak ada waktu untuk menuju BAZ yang posisinya biasa di kota. Keunggulan dari UPZ ini selain meningkatkan terkumpulnya dana zakat di suatu daerah juga memberikan dampak positif kepada masyarakat sekitar masjid tersebut. Karena pemberdayaan amil dengan edukasi dan tercapainya tujuan zakat kepada para ashnaf dapat dilakukan dengan lebih merata. Karena masyarkatlah yang lebih mengetahui keadaan lingkungannya dengan lebih baik dibandingkan pihak luar lainnya.
Peran BAZ yang memberi edukasi kepada masyarakat sekitar dan terberdayanya masjid dengan lebih baik. Terbukti mampu meningkatkan pendapatan dana zakat. Contohnya BAZ kota bogor. Pada tahun 2009 dana ZIS yang terkumpul sebesar Rp. 3.522.631.961. Pada tahun 2010 meningkat sebesar Rp. 5.204.364.286, dan pada tahun 2011 meningkat lagi sebesar Rp. 10.382.217.469. Melalui peningkatan terkumpulnya dana zakat ini membantu keberlangsungannya berbagai program kemanusiaan kepada rakyat miskin. Oleh karena itu, pentingnya membangun kesadaran akan pentingnya zakat, dan penyerahan dana zakat kepada badan atau lembaga terpercaya, seperti BAZ masing-masing daerah. Diharapkan seluruh warga Indonesia terketuk hatinya untuk mau membantu sesamanya melalui zakat yang dikeluarkan, dan meningkatnya perolehan dana zakat juga berarti meningkatnya kesejahteraan rakyat ke arah yang lebih baik.[8]


BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan seperti berikut ini:
Zakat merupakan kewajiban agama dan termasuk rukun islam yang ke tiga dan wajib dikeluarkan oleh setiap muslim yang memiliki harta lebih. Zakat juga terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60 dan ayat 103. Dalam mengurus zakat diperlukan lembaga pengelola zakat supaya zakat dapat disalurkan kepada orang yang berhak menerimanya. Lembaga pengelola zakat terbagi menjadi dua yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Tujuan dari pembentukan lembaga tersebut yaitu untuk memudahkan pendistribusian zakat.
            Akan tetapi dalam lembaga pengelola zakat di Indonesia masih terdapat beberapa kendala di antaranya yaitu banyaknya organisasi amil zakat yang berjalan sendiri-sendiri sehingga potensi zakat yang sangat besar kurang dapat dimanfaatkan secara terarah dan merata. Di sisi lain, hal itu juga disumbang oleh faktor angka kemiskinan dan tingkat pengangguran yang dari hari ke hari semakin naik. Selain itu, pemahaman fiqih seorang amil yang belum memadai, rendahnya kesadaran masyarakat akan pembayaran zakat, sistem informasi zakat yang belum maksimal. Kendala inilah yang membuaat dana zakat kurang terkumpul secara maksimal dan penyalurannya pun juga belum sesuai dengan yang diharapkan.
Dari kendala tersebut dibutuhkan strategi yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam lembaga pengelola zakat. Di antaranya adalah, meningkatkan pengawasan terhadap badan pengelola zakat, membentuk gerakan membayar zakat yang di prakarsai oleh tokoh-tokoh agama setempat supaya masyarakat sadar betapa pentingnya dalam membayar sistem informasi zakat, meperbaiki pola-pola penyaluran zakat, dan lain-lain.


DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, Chaider S. dan Irfan Abubakar (eds). (2005). Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ford Foundation.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. (1995). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Hasanah, Umrotul. Manajemen Zakat Modern. (Malang: UIN Maliki Pres, 2010).

Mufraini, M. Arief. 2012. Akuntansi dan Manajemen Zakat. Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP.
Parakkasi, Idris. 2012. Pola Pemberdayaan Zakat, Infak dan Sadaqah Berbasis Masjid. http://konsultanekonomi.blogspot.co.id/2012/05/pola-pemberdayaan-zakat-infak-dan.html diakses pada tanggal 1 Juni 2017.

Pohan, Ahmad Azhari. 2012. Peran BAZ dan LAZ Dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, http://aripohan.blogspot.co.id/2012/12/peran-baz-dan-laz-dalam-peningkatan.html diakses pada tanggal 1 Juni 2017.

Republika Online (2012a). ‘Masjid di Indonesia Bakal Didata’. diakses dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/07/15/m7747l-masjid-di-indonesia-bakal-didata pada tanggal 1 Juni 2017.

Sari, Mutiara Dwi dan Muchtar Ahmad. 2010. Memperkasakan Zakat: Dari Pegumpulan Terus ke Pengagihan, https://www.researchgate.net/publication/305729935_Memperkasakan_Zakat_Dari_Pegumpulan_Terus_ke_Pengagihan diakses pada tanggal 1 Juni 2017.


[1] Republika Online (2012a), ‘Masjid di Indonesia Bakal Didata’, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/07/15/m7747l-masjid-di-indonesia-bakal-didata pada tanggal 1 Juni 2017.
[2] Umrotul Hasanah, Manajemen Zakat Modern, (Malang: UIN Maliki Pres, 2010), hal. 34.
[3] John M. Echols dan Hassan Shadily. (1995). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
[4] Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar (eds). (2005). Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ford Foundation.
[5] Mutiara Dwi Sari dan Muchtar Ahmad, 2010, Memperkasakan Zakat: Dari Pegumpulan Terus ke Pengagihan, https://www.researchgate.net/publication/305729935_Memperkasakan_Zakat_Dari_Pegumpulan_Terus_ke_Pengagihan diakses pada tanggal 1 Juni 2017
[6] Idris Parakkasi, 2012, Pola Pemberdayaan Zakat, Infak dan Sadaqah Berbasis Masjid, http://konsultanekonomi.blogspot.co.id/2012/05/pola-pemberdayaan-zakat-infak-dan.html diakses pada tanggal 1 Juni 2017
[7] M. Arief Mufraini, 2012, Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP
[8] Ahmad Azhari Pohan, 2012, Peran BAZ dan LAZ Dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, http://aripohan.blogspot.co.id/2012/12/peran-baz-dan-laz-dalam-peningkatan.html diakses pada tanggal 1 Juni 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar