Page

Jumat, 17 Maret 2017

APLIKASI MANAJEMEN ZAKAT



APLIKASI MANAJEMEN ZAKAT

Paper Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Zakat dan Wakaf
Dosen Pengampu April Purwanto, M.Si






Disusun Oleh:
RISKA YANTY (15830074)

PRODI MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, startegis dan menentukan baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan ummat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sebagaimana dalam hadis nabi, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’lum minad-diin bidh-dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Didalam al-qur’an terdapat dua puluh tujuh ayat yang menyejajarkan kewajiban sholat dengan zakat. Terdapat berbagai ayat yang memuji orang-orang yang sungguh-sungguh menunaikannya, Dan sebaliknya memberikan ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya. Karena itu khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq bertekad memerangi orang-orang yang sholat tetapi tidak mengeluarkan zakat. Ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan dan jika hal ini dibiarkan  maka akan memunculkan berbagai problem sosial ekonomi dan kemudharatan dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan belum optimal serta kurang efektifnya sasaran zakat karena manajemen pengelolaan zakat belum terlaksana sebagaimana mestinya, baik pengetahuan pengelola maupun instrumen manajemen pengelolaan serta sasaran zakat. Olehnya itu untuk pengelolaan zakat yang lebih optimal agar sasaran zakat dapat tercapai maka ada beberapa hal yang akan dibahas dalam paper ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Apakah konsep dari manajemen zakat?
2.      Bagaimana perencanaan dalam zakat?
3.      Bagaimana organisasi pengelolaan dalam zakat?
4.      Bagaimana pelaksanaan dalam kegiatan zakat?
5.      Bagaimana pengawasan dalam zakat?
1.3 Tujuan
Untuk membahas terkait dengan manajemen zakat mulai dari perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan serta pengawasan.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Manajemen Zakat Sebuah Konsep
Sebelum mengulas tentang manajemen zakat, tarlebih dahulu dikemukakan konsep dasar manajemen pada umumnya. Manajemen adalah pekerjaan mental (pikiran intuisi, perasaan) yang dilaksanakan oleh orang-orang dalam konteks organisasi. Manajemen adalah sub sistem kunci dalam sistem organisasi dan merupakan kekuatan vital yang menghubungkan semua sub sistem lainnya. Manajemen mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.      Mengkoordinasikan sumber daya manusia, material dan keuangan kearah tercapainya organisasi secara efektif dan efisien.
2.      Menghubungkan organisasi dengan lingkungan luar dan menanggapi kebutuhan masyarakat.
3.      Mengembangkan iklim organisasi dimana orang dapat mengejar sasaran perseorangan (individual) dan sasaran bersama (collective).
4.      Melaksanakan fungsi tertentu yang dapat ditetapkan seperti menentukan sasaran, merencanakan merakit sumber daya, mengorganisir, melaksanakan dan mengawasi.
5.      Melaksanakan berbagai peranan antar pribadi informasional dan memutuskan (decisional).[1]
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Kathryn M. Bartol dan David C. Marten dalam Kadarman dan Yusuf Udaya (2001:9) dikemukakan bahwa manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan dari empat fungsi utama, yaitu: perencanaan (planning), mengorganisasikan (organizing), memimpin pelaksanaan kegiatan (leading/actuating) dan pengawasan/mengendalikan (controlling).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manajemen adalah merupakan suatu kegiatan yang berkesinambungan. Manajemen adalah sebuah ilmu, seni, profesi, proses dan sistem mengubah berbagai sumber daya (manusia, material, mesin, metoda, uang, waktu, informasi, pasar dan moral) dalam suatu ruang usaha yang berguna bagi kemanusiaan serta untuk mencapai tujuan tertentu melalui kerjasama dengan orang lain secara sistematis efektif, efisien dan rasional.[2]
Berkaitan dengan manajemen zakat dengan kerangka pemikiran sebagaimana di atas harus berpedoman dengan prinsip-prinsip dasar manajemen secara profesional. Secara operasional dan fungsional manajemen zakat dijelaskan secara terperinci yang berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang berkaitan dengan zakat.
Zakat adalah potensi umat Islam yang cukup besar.Potensi tersebut apabila dikelola secara baik dan optimal akan dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi umat.[3] Sudah saatnya pengelolaan zakat beralih dari model yang tradisional-konvensional ke modern-profesional. Dalam hal ini, model pengelolaan tradisional-konvensional adalah pengelolaan yang dilakukan sambil lalu atau sekadarnya saja, temporer (pendek-terbatas), dan dikelola oleh orang-orang yang tidak kompeten.[4]
Manajemen zakat yang baik adalah suatu keniscayaan. Dalam Undang-Undang (UU) No.38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Agar LPZ dapat berdaya guna, maka pengelolaan atau manajemennya harus berjalan dengan baik.
Kualitas manajemen suatu organisasi pengelola zakat (Widodo, 2003) harus dapat diukur. Untuk itu, ada tiga kata kunci yang dapat dijadikan sebagai alat ukurnya. Pertama, amanah. Sifat amanah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap amil zakat. Tanpa adanya sifat ini, hancurlah semua sistem yang dibangun. Kedua, sikap profesional. Sifat amanah belumlah cukup. Harus diimbangi dengan profesionalitas pengelolaannya. Ketiga, transparan. Dengan transparannya pengelolaan zakat, maka kita menciptakan suatu sistem kontrol yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja, tetapi juga akan melibatkan pihak eksternal. Dan dengan transparansi inilah rasa curiga dan ketidakpercayaan masyarakat akan dapat diminimalisasi.
Ketiga kata kunci ini dapat diimplementasikan apabila didukung oleh penerapan prinsip-prinsip operasionalnya. Prinsip-prinsip operasionalisasi LPZ antara lain. Pertama, kita harus melihat aspek kelembagaan. Dari aspek kelembagaan, sebuah LPZ seharusnya memperhatikan berbagai faktor, yaitu : visi dan misi, kedudukan dan sifat lembaga, legalitas dan struktur organisasi, dan  aliansi strategis. Kedua, aspek sumber daya manusia (SDM). SDM merupakan aset yang paling berharga. Sehingga pemilihan siapa yang akan menjadi amil zakat harus dilakukan dengan hati-hati. Untuk itu perlu diperhatikan faktor perubahan paradigma bahwa amil zakat adalah sebuah profesi dengan kualifikasi SDM yang khusus. Ketiga, aspek sistem pengelolaan. LPZ harus memiliki sistem pengelolaan yang baik, unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah : LPZ harus memiliki sistem, prosedur dan aturan yang jelas, memakai IT, manajemen terbuka; mempunyai activity plan; mempunyai lending commite; memiliki sistem akuntansi dan manajemen keuangan;  diaudit; publikasi; perbaikan terus menerus.
Setelah prinsip-prinsip operasional  kita pahami, kita melangkah lebih jauh untuk mengetahui bagaimana agar pengelolaan zakat dapat berjalan optimal. Untuk itu, perlu dilakukan sinergi dengan berbagai stakeholder. Pertama, para pembayar zakat (muzakki). Jika LPZ ingin eksis, maka ia harus mampu membangun kepercayaan para muzakki. Banyak cara yang bisa digunakan untuk mencapainya, antara lain: memberikan progress report berkala, mengundang muzakki ke tempat mustahik, selalu menjalin komunikasi melalui media cetak, silaturahmi, dan lain-lain. Kedua, para amil. Amil adalah faktor kunci keberhasilan LPZ. Untuk itu, LPZ harus mampu merekrut para amil yang amanah dan profesional.


2.2 Perencanaan Zakat
Secara konseptual, perencanaan adalah proses pemikiran penentuan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai, tindakan yang harus dilaksanakan, dan bentuk organisasi yang tetap untuk mencapainya, dan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang hendak dilaksanakan oleh badan/lembaga amil zakat. Dengan kata lain, perencanaan menyangkut pembuatan keputusan tentang apa yang hendak dilakukan, bagaimana cara melakukan, kapan melakukan dan siapa yang akan melakukan secara terorganisir.
Terkait dengan perencanaan zakat tentunya berkaitan dengan kegiatan dengan proses sebagai berikut:
1.      Menetapkan sasaran dan tujuan zakat. Sasaran zakat berkaitan dengan orang yang berkewajiban zakat (muzzaki) dan orang yang berhak mendapatkan zakat (mustahik). Sedangkan tujuannya adalah menyantuni orang yang berhak agar terpenuhi kebutuhan dasarnya atau meringankan beban mereka.
2.      Menetapkan bentuk organisasi atau kelembagaan zakat yang sesuai dengan tingkat kebutuhan yang hendak dicapai dalam pengelolaan zakat.
3.      Menetapkan cara melakukan penggalian sumber dan distribusi zakat. Dalam hal ini dilakukan identifikasi orang-orang yang berkewajiban zakat (muzaki) dan orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik). Setelah diidentifikasikan kemudian orang-orang tersebut dikompilasikan dengan data khusus, sehingga teridentifikasi secara tertib dan rapi, sebagai bahan pembuatan program kerja dalam pengelolaan zakat.
4.      Menentukan waktu untuk penggalian sumber zakat dan waktu untuk mendistribusikan zakat dengan skala prioritas.
5.      Menetapkan amil atau pengelola zakat dengan menetukan orang yang mempunyai komitmen, kompetensi, mindset dan profesionalisme untuk melakukan pengelolaan zakat.
6.      Menetapkan sistem pengawasan terhadap pelaksanaan zakat, baik mulai dari pembuatan perencanaan, pembuatan pelaksanaan, pengembangan secara terus menerus secara berkesinambungan.[5]
Dari perencanaan tersebut, kemudian dibuatlah program kerja yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan kelembagaan zakat yang telah ditetapkan. Tugas utama dalam merancang kegiatan zakat harus disesuaikan dengan lingkungan kerjanya agar dapat membantu menciptakan efisiensi, efektivitas dan dilakukan secara rasional.
2.3 Organisasi Pengelolaan Zakat
Pengelolaan dan pengorganisasian zakat di Indonesia, diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Dalam Bab II Pasal 5 undang-undang tersebut dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan:
1.      Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama.
2.      Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3.      Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Dalam Bab III Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infak, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8, pasal 12 dan pasal 11 undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau dikenaan denda sebanyak-banyaknya Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola zakat.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999, dikemukakan bahwa lembaga-lembaga zakat harus memiliki persyaratan teknis, antara lain adalah:
1.      Berbadan hukum.
2.      Memiliki data muzakki dan mustahik.
3.      Memiliki program kerja yang jelas.
4.      Memiliki pembukuan yang baik.
5.      Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit.
Persyaratan tersebut tentu mengarah pada profesionalitas dan transparansi dari setiap lembaga pengelola zakat. Undang-Undang RI Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Bab III pada 6 dan pasal 7 menyatakan bahwa lembaga pengelola zakat di Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan Amil Zakat dibentuk oleh pemerintah, sedangkan Lembaga Amil Zakat didirikan oaleh masyarakat.
Dalam buku petunjuk teknis pengelolaan zakat dikeluarkan oleh Institut Manajemen Zakat (2001) dikemukakan susunan organisasi lembaga pengelola zakat seperti Badan Amil Zakat sebagai berikut:
Susunan Organisasi Badan Amil Zakat
1.      Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana.
2.      Dewan Pertimbangan meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota.
3.      Komisi Pengawas meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota.
4.      Badan Pelaksana meliputi unsur ketua, sekretaris, bagian keuangan, bagian pengumpulan, bagian pendistribusian dan pendayagunaan
5.      Anggota pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur ulama, kaum cendekia, tokoh masyarakat, tenaga profesional dan lembaga pendidikan yang terkait.
Fungsi dan Tugas Pokok Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ)
1.      Dewan Pertimbangan
Fungsi, memberikan pertimbangan, fatwa, saran dan rekomendasi kepada badan pelaksana dan Komisi Pengawas dalam pengelolaan Badan Amil Zakat, meliputi aspek syariah dan aspek manajerial
Tugas Pokok
a.       Memberikan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat
b.      Mengesahkan rencana kerja dari Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas
c.       Mengeluarkan fatwa syariah baik diminta maupun tidak terkait dengan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat
d.      Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas baik diminta maupun tidak
e.       Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas
f.       Menunjuk Akuntan Publik
2.      Komisi Pengawas
Fungsi; sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana
Tugas Pokok
a.       Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan
b.      Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Dewan Pertimbangan
c.       Mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang mencakup pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
d.      Melakukan pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syariah
3.      Badan Pelaksana
Fungsi; sebagai pelaksana pengelolaan zakat
Tugas pokok
a.       Membuat rencana kerja
b.      Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan
c.       Menyusun laporan tahunan
d.      Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah
e.       Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat kedalam maupun keluar
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat memiliki beberapa keuntungan antara lain:[6]
Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat. Kedua, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki. Ketiga , untuk mencapai efisiensi dan efektifitas serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala proritas yang ada pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Kelima, untuk memudahkan kordinasi dan konsolidasi data muzakki dan mustahiq. Keenam, untuk memudahkan pelaporan dan pertanggungjawaban ke publik. Ketujuh, agar pengelolaaannya dapat dikelola secara professional (pen). Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung dari muzakki ke mustahik, meskipun secara hukum syar’i adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan pemerataan dan kesejahteraan ummat, akan sulit diwujudkan.
2.4 Pelaksanaan Kegiatan Zakat
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah dalam QS. At-Taubah:60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)  budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
Juga dalam firman Allah SWT QS. At-Taubah:103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dalam surah At-taubah :60 dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah orang yang bertugas mengurus zakat (‘amilina  ‘alaiha). Sedangkan dalam surah At-taubah:103 bahwa zakat itu diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki)  untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Yang mengambil dan menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil). Imam Qurtubi[7] menafsirkan surah At-Taubah : 60 menyatakan bahwa amil itu adalah orang yang ditugaskan oleh imam atau pemerintah untuk mengambil, menuliskan, menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. Karena itu Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang dari suku Asad yang bernama ibnu lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.[8] Begitupula dengan Muas bin Jabal yang ditugaskan di negeri Yaman sebagai  da’i juga sebagai pengurus Zakat. Demikian pula yang dilakukan oleh para khulafaur rasyidin sesudahnya.
Penentuan Kriteria Pelaksana Zakat
Qardawi (1991:596) menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:
1.      Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang termasuk rukun Islam (rukun islam ketiga), karena itu seharusnya apabila urusan penting kaum muslimin diurtus oleh sesama muslim
2.      Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggungjawab mengurus urusan umat.
3.      Memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini penting untuk menjaga kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika memang lembaga ini patut dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariah Islam. Sifat amanah dan professional ini dikisahkan tentang Nabi Yusuf as yang mendapatkan kepercayaan sebagai bendaharawan negeri Mesir, yang saat itu dilanda paceklik berhasil membangun kembali kesejahteraan masyarakat karena kemampuannya menjaga amanah. Firman Allah SWT QS. Yusuf:55
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".
4.      Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat
5.      Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang penting akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas
6.      Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang baik adalah amil zakat yang fuul time dalam melaksanakan tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan
Penggalian Sumber dan Distribusi Zakat
Dalam menggali sumber zakat sebagaimana dikemukakan dalam buku manajemen pengelolaan zakat – Departemen Agama (2005:33-34) ada tiga strategi dalam pengumpulan zakat, yaitu:
1.      Pembentukan unit pengumpulan zakat. Hal ini dilakukan untuk memudahkan bagi pengelola zakat dalam menjangkau para wajib zakat (muzakki) maupun kemudahan para muzakki untuk membayar zakatnya.
2.      Pembukaan konter penerimaan zakat untuk memudahkan pelayanan dalam mengumpulkan zakat
3.      Pembukaan rekening bank untuk memudahkan para muzakki dalam pengiriman zakatnya
Zakat yang telah dikumpulkan oleh badan/lembaga amil zakat kemudian segera didistribusikan kepada pihak-pihak yang berhak menerima zakat (mustahik) sesuai dengan data yang telah disiapkan.
2.5 Pengawasan Zakat
Pola pengawasan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.      Menetapkan sistem dan standar operasional pengawasan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan oleh badan/lembaga amil zakat
2.      Mengukur kinerja atau mengevaluasi kinerja dengan standar yang telah ditentukan dengan proses yang berkelanjutan
3.      Memperbaiki penyimpangan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
Sedangkan teknik pengawasan yang harus dilakukan untuk badan/lembaga amil zakat sebagai berikut:
1.      Konsep pengawasan adalah perumusan dalam angka untuk periode tertentu di masa depan badan atau lembaga
2.      Tujuan penganggaran. Dengan menyatakan perencanaan dalam angka dan memerinci ke dalam komponen-komponen yang cocok dengan struktur organisasi atau badan/lembaga, anggaran menghubungkan perencanaan dan mengijinkan pendelegasian kekuasaan/wewenang tanpa hilangnya pengawasan
3.      Jenis anggaran meliputi, (1) anggaran pendapatan (berkaitan dengan zakat) dan pengeluaran (berkaitan dengan distribusi zakat), (2) anggaran waktu, ruang, dan bahan baku, dan produksi layanan terhadap wajib zakat dan pelayanan terhadap penerima zakat, (3) anggaran pengeluaran modal kerja sama badan/lembaga dengan pihak lain, (4) anggaran kas, dan (5) anggaran neraca badan/lembaga amil zakat
4.      Teknik operasional pengawasan dengan menggunakan sarana yaitu: (1) data statistik atau akuntansi, (2) grafik pulang pokon (break-even), (3) audit operasional, (4) observasi pribadi.[9]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah, artinya ibadah dibidang harta yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat. Jika zakat dikelola dengan baik, baik pengambilan maupun pendistribusiannya dengan menerapkan fungsi-fungsi manajemen modern, insya Allah  akan dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat. Karena itu di dalam al-qur’an dan hadis, banyak perintah untuk berzakat, sekaligus pujian bagi yang melakukannya, baik didunia ini maupun di akhirat nanti. Sebaliknya, banyak pula ayat al-qur’an dan hadis nabi yang mencela orang yang enggan melakukannya, sekaligus ancaman duniawi dan ukhrawi bagi mereka. Olehnya itu perlunya pengelolaan zakat secara profesional oleh lembaga yang dipercaya dan dikelola oleh pengelola zakat (amil) yang amanah, jujur, dan profesional.



DAFTAR PUSTAKA
Alquranul Karim, Terjemahan Depag RI.
Al-Qurtubi, 1413 H/1993M, al-jami’ Li Ahkam Al-qur’an, Beirut Libanon: Daar el-Kutub ‘Ilmiyyah, Jilid VII-VIII.
Departemen Agama RI. 2002. Pedoman Zakat. Jakarta: Badan Proyek Peningkatan Zakat.
---------------------------. 2005. Manajemen Pengelolaan Zakat. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf.
---------------------------. 2005. Pola Pembinaan Lembaga Amil Zakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf.
Hafidhuddin, Didin dan Ahmad Juwaini. 2006. Membangun Peradaban Zaka: Meniti Jalan Kegemilangan Zakat. Jakarta: IMZ dan BAMIUS BNI 46.
Nawawi, Ismail. 2010. Zakat: Dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi. Surabaya: Putra Media Nusantara
Pedoman Zakat 9 Seri, 2012. Jakarta: Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat.
SJ, Kadarman dan Yusuf Udayana. 2001. Pengantar Ilmu Manajemen. Jakarta: Prinhallindo.
Qadir, Abdurrahman. 1988.  Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 1996. Hukum Zakat. Jakarta: PT Pusraka Lentera Antar Nusa.
Widodo, Hertanto. 2003. Pedoman Akuntansi Zakat, Jakarta: Institut Manajemen Zakat.



[1] Ismail Nawawi, 2010, Zakat: Dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi, Surabaya: Putra Media Nusantara, hlm. 46.
[2] Ibid, hlm. 47.
[3] 2012, Pedoman Zakat 9 Seri, Jakarta: Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, hlm. 21.
[4] Didin Hafidhuddin, Ahmad Juwaini, 2006, Membangun Peradaban Zakat: Meniti Jalan Kegemilangan Zakat, Jakarta: IMZ dan BAMIUS BNI 46, hlm. 43-45.
[5] Ismail Nawawi, 2010, Zakat: Dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi, Surabaya: Putra Media Nusantara, hlm. 48.
[6] Abdurrahman Qadir, 1988,  Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 85.
[7] Al-Qurtubi, 1413 H/1993M, al-jami’ Li Ahkam Al-qur’an, Beirut Libanon: Daar el-Kutub ‘Ilmiyyah, Jilid VII-VIII, hlm. 112-113.
[8] Ibid, hlm.113.
[9] Ismail Nawawi, 2010, Zakat: Dalam Perspektif Fiqh, Sosial dan Ekonomi, Surabaya: Putra Media Nusantara, hlm. 68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar