HUKUM ZAKAT DAN WAKAF
Metode Pendanaan Wakaf dengan Cara Menggalang Bantuan Dana dari
Publik
Dosen Pengampu April Purwanto, M.Si
Disusun Oleh:
RISKA YANTY (15830074)
PRODI MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017
Metode Pendanaan Wakaf dengan Cara Menggalang Bantuan Dana dari
Publik
Menggalang dana dari publik berarti nazhir wakaf memilih satu
bentuk keberlangsungan dalam pengurusan wakaf dan proyek pengembangan yang
berkenaan dengan wakaf, dan tidak membiarkan hal itu dilakukan oleh donatur.
Nazhir wakaf merealisasikan tujuan tersebut dengan menggunakan cara pendanaan
yang direncanakan oleh pengurus, yaitu dengan menggalang dana dari publik,
misalnya membuat rekomendasi penggalangan dana secara bertahap dan nazhir dalam
praktiknya dapat menunjuk pengurus wakaf untuk mewakilinya.[1]
Ada lima macam kertas berharga yang bisa diusulkan kepada
masyarakat dalam menggalang dana umum untuk mendanai pengembangan harta wakaf.
Kertas berharga ini bagi pemiliknya yaitu pembeli atau pendana dapat
menguntungkan selama dimilikinya. Kelima macam kertas berharga ini yaitu
sebagai berikut; quota produksi (khishash intaj), saham kerjasama (ashum
al-musyarakah), obligasi penyewaan (sanadat al-ijarah), saham monopoli (ashum
at-tahkir), dan obligasi pinjaman (sanadat al-muqaradhah).
1.
Quota Produksi
Quota produksi adalah kertas berharga yang mempunyai kesamaan nilai
dan dikeluarkan oleh nazhir wakaf bagi para pemberi dana. Ini merupakan salah
satu bentuk kepemilikan bagian pada bangunan investasi yang dibangun oleh
nazhir di atas tanah wakaf dari harta yang diperoleh melalui pemegang quota
produksi atau yang mewakilinya. Quota produksi bisa diputar setelah proyek
investasi mulai beroperasi, atau bisa dijual lebih dari harga semestinya atau sama
dari bentuk hutang menjadi bentuk barang, hak, dan manfaat. Hubungan antara
nazhir wakaf dengan pemegang quota produksi:
a. Adanya izin dari nazhir wakaf kepada pemegang quota produksi untuk
membangun di atas tanah wakaf
b. Adanya ajakan dari nazhir wakaf sebagai pelaku mudharabah kepada
masyarakat untuk membeli quota produksi dengan sejumlah uang tertentu dengan
syarat yang terpenting adalah sebagai berikut:
·
Adanya
izin dari nazhir wakaf untuk membuat bangunan di atas tanah wakaf sebagai
proyek dengan spesifikasi dan biaya terinci
·
Adanya
wakil dari nazhir sebagai badan hukum untuk menggunakan harta yang dipegangnya
dari para pembeli quota produksi untuk bangunan yang akan dibangun
·
Menentukan
wakaf sebagai pelaku mudharabah yang membayar pokok tetap dan mencakup bangunan
yang dimiliki oleh pemilik quota atau bangunan serta semua perlengkapannya
kalau ada
·
Pembagian
produksi keseluruhan terhadap terhadap proyek setelah selesai dibangun dan
mulai beroperasi antara pemilik harta (pemilik quota produksi) dengan pelaku
mudharabah yang tidak lain adalah wakaf
·
Membuat
prosentasi pembagian total produksi antara wakaf sebagai pelaku mudharabah
dengan pemilik bangunan (pemilik quota, dan tidak disediakan dana untuk tanah,
akan tetapi prosentase wakaf dapat meningkat dari ganti hasil yang dikhususkan
untuk tanah)
c. Nazhir melakukan pembangunan sebagai wakil dari pemilik quota
produksi
d. Setelah bangunan selesai, nazhir menyerahkannya dan mengelola
investasi sebagai pelaku mudharabah
e. Penentuan pembagian total keuntungan, misalnya uang sewa yang
diperoleh dari penyewa bangunan antara pelaku mudharabah dengan pemilik quota
produksi sesuai kesepakatan bersama[2]
Misalnya, proyek berupa rumah sakit yang akan dibangun di atas
tanah wakaf dan disewakan kepada Departemen Kesehatan. Sehingga nazhir wakaf
mengeluarkan quota produksi untuk menggalang dana. Quota produksi ini juga bisa
tetap dimiliki oleh para investor tanpa berpindah ke wakaf.
2.
Saham Kerjasama dalam Wakaf
Saham kerjasama biasanya dapat dikeluarkan dengan nilai yang sama,
yaitu menyerupai saham pada perusahaan saham perseroan, dan dikeluarkan oleh
wakaf atau nazhirnya. Dalam brosur penerbitan saham ini dimuat perwakilan wakaf
dengan menggunakan nilai pengeluaran saham kepada bangunan yang berada di atas
tanah wakaf. Jadi nilai tersebut dapat mewakili bangunan setelah selesai
pembangunannya. Di sini pemilik saham ikut serta dalam kepemilikan bangunan
sesuai jumlah saham yang dimilikinya. Sedangkan wakaf atau nazhir wakaf dalam
kapasitasnya sebagai badan hukum menjadi manajer bangunan dengan gaji yang
layak.[3]
Seperti dalam perusahaan perseroan biasa, keuntungan bersih
dibagikan kepada pemilik saham setelah dikurangi semua beban kerusakan, dana
cadangan, dan gaji manajer. Kepemilikan bangunan bisa tetap berada di tangan
pemilik saham secara berlanjut tanpa memindahkan kepemilikan itu kepada wakaf.
Sedangkan wakaf juga bisa memiliki bangunan dengan membeli saham dari pasar.
Atau kepemilikan bisa berpindah kepada wakaf dengan cara diberikan.
3.
Obligasi Benda yang Disewakan
Obligasi benda yang disewakan adalah cek atau kertas berharga
berupa bagian yang sama dari kepemilikan bangunan yang disewakan, dimana wali
wakaf mengeluarkan obligasi ini dan menjualnya kepada publik dengan harga yang
sama dengan prosentase bagian obligasi dari bangunan, dengan jumlah biaya
bangunan yang direncanakan pembangunannya. Apabila biaya bangunan sepuluh juta
dinar dan bangunan dibagi ke dalam satu juta unit, maka dikeluarkan sebanyak
satu juta obligasi benda yang disewakan, maka harga jual satu obligasi ketika
dikeluarkan oleh nazhir wakaf adalah sebesar 10 Dinar.[4]
Dengan demikian, obligasi dikeluarkan oleh wakaf untuk menanggung
biaya bangunan di atas tanah wakaf. Dalam obligasi memuat kesepakatan agar
pemegang obligasi dapat menyewakan bangunan tersebut dengan uang sewa yang
telah disepakati.
4.
Saham Monopoli
Saham monopoli adalah tingkatan dari beberapa obligasi barang yang disewakan dan saham kerjasama, sebab saham monopoli menyerupai keduanya dari beberapa segi. Dikatakan menyerupai obligasi barang yang disewakan karena saham monopoli berupa bagian yang sama dalam kepemilikan bangunan sejak dilakukan akad penyewaan selama masa investasi. Bangunan ini didirikan dengan sistem perwakilan di atas tanah wakaf.
Saham monopoli adalah tingkatan dari beberapa obligasi barang yang disewakan dan saham kerjasama, sebab saham monopoli menyerupai keduanya dari beberapa segi. Dikatakan menyerupai obligasi barang yang disewakan karena saham monopoli berupa bagian yang sama dalam kepemilikan bangunan sejak dilakukan akad penyewaan selama masa investasi. Bangunan ini didirikan dengan sistem perwakilan di atas tanah wakaf.
Saham monopoli juga dikatakan menyerupai saham kerjasama karena
hasilnya berupa keuntungan bersih yang menjadi perbedaan antara pendapatan dan
pengeluaran pada proyek investasi, yang tidak ditentukan sebelumnya, dan
berbeda dengan pendapat barang yang disewakan.[5]
Jadi, saham monopoli adalah saham yang berupa bagian sama dalam
membangun bangunan di atas tanah wakaf yang disewakan dengan akad penyewaan
dalam jangka waktu yang sangat lama, yaitu akad monopoli, dan dengan uang sewa
yang telah ditentukan hingga selesainya masa akad. Dalam hal ini, nazhir wakaf
menjadi pengurus (manajer) bangunan dengan gaji atau tanpa gaji mendirikan
bangunan kemudian mengurus investasi secara keseluruhan. Pendapatan dari
investasi digunakan untuk gaji, sedangkan keuntungan bersihnya dibagikan kepada
pemegang saham monopoli.
5.
Obligasi Pinjaman
Saham pinjaman dilakukan sama dengan akad mudharabah, seperti
halnya juga wadi’ah investasi yang ada di bank-bank Islam. Dalam obligasi
pinjaman nazhir wakaf menerima uang cash dalam kapasitasnya sebagai pelaku
mudharabah, sama seperti halnya bank Islam menerima wadi’ah uang investasi.
Bedanya, nazhir wakaf menerima uang ini dan mengeluarkan dokumen yang nilainya
sama dengan uang yang diterima.[6]
Jadi saham pinjaman adalah saham dengan nilai yang sama dengan namanya,
berupa modal yang diberikan kepada wakaf. Dari modal inilah pemiliknya
mendapatkan keuntungan proyek wakaf sesuai yang telah disepakati, dan
menanggung semua kerugian sesuai bagian mereka yang ada pada modal proyek.
Nazhir mempergunakan harta ini untuk tujuan investasi terbatas yang
disepakati dengan pemiliknya. Penggunaan ini adalah pengembangan harta wakaf
seperti membangun rumah sakit kemudian dibisniskan. Pada setiap penutupan buku,
nazhir menghitung keuntungan dan kerugian serta membagikannya sesuai dengan
perjanjian. Kemudian nilai barangnya dikembalikan dalam bentuk uang setelah
berakhirnya mudharabah kepada pemilik saham pinjaman, dan hal itu dilakukan
dengan menguangkan harta mudharabah.
[1] Mundzir
Qahaf, 2005, Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifa, hal. 278.
[2] Ibid,
hal. 284.
[3] Ibid,
hal. 286.
[4] Ibid,
hal. 287.
[5] Ibid,
hal. 289.
[6] Ibid,
hal. 290.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar