MAYSIR
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Muamalah Kontemporer
Dosen Pengampu: H. Mukhamad Yazid Afandi, S.Ag., M.Ag.
Disusun Oleh:
DIKI MANDALA (15830015)
RISKA YANTY (15830074)
PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016/2017
A.
Pendahuluan
Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia pada khususnya serta resesi dan
ketidakseimbangan ekonomi global pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa asumsi
di atas salah total, bahkan ada sesuatu yang “tidak beres” dalam sistem yang
kita anut selama ini. Tidak adanya nilai-nilai Illahiyah yang melandasi
operasional Perbankan dan lembaga keuangan lainnya telah menjadikan lembaga
“penyuntik darah” pembangunan ini sebagai “sarang-sarang perampok berdasi” yang
meluluhlantahkan sendi-sendi perekonomian bangsa.
Dengan
latar belakang inilah, maka seluruh praktik perbankan modern, yang mulai tumbuh
dan berkembang sejak abad ke-16, sistem operasionalnya tidak bisa lepas dari
riba. Akibat terlalu lama dan mendalamnya sistem riba dalam sistem perbankan
ini menyebabkan hal tersebut sangat sukar untuk dipisahkan. Bahkan telah
berakar dan berkarat dalam kerangka pikiran para bankir konvensional bahwa riba
adalah darah dan nadi dari seluruh sistem perbankan.
Sekarang
saatnya para Bankir yang masih mengimani Al Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan
Hadits sebagai panduan aktivitasnya berperan aktif dalam memajukan sistem
Perbankan Syari’ah.
Oleh
karena itu, akan sedikit kami ulas secara singkat tentang Maisir/Judi baik kecil ataupun besar, merupakan faktor yang dominan atau
faktor kecil dari sebuah transaksi hukumnya adalah haram. Biasanya judi adalah
merupakan untuk mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan.
B.
Definisi
Dalam literatur Islam istilah maysir, secara lughawi berasal dari yasara
atau yusr yang bermakna mudah; atau yasar bermakna kekayaan.
Secara istilahi maysir adalah bentuk permainan yang mengandung unsur
taruhan dan orang yang menang dalam permainan itu berhak mendapatkan taruhan
tersebut. Di dalam prakteknya, zaman dahulu, maysir telah menjadi alat
untuk sebuah status sosial, harga diri, dan jalan untuk mendapatkan sesuatu
dengan cara pintas. Hal yang pasti, akibat praktek ini kemudian muncul
pertentangan kelompok, permusuhan dan berbagai ekses negatif lainnya.
Pada masa jahiliyah dikenal dua bentuk maysir; yaitu al-Mukhatharah
dan al-tajzi’ah. Dua bentuk judi ini seolah-olah telah menjadi budaya
masyarakat. Al-Mukhatarah adalah taruhan di mana dua orang atau lebih
menempatkan harta atau istri mereka sebagai taruhan dalam suatu permainan.
Orang yang berhasil memenangkan permainan itu berhak mengambil harta atau istri
dari pihak yang kalah. Harta atau istri yang sudah menjadi milik pemenang itu
dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Jika dia menyukai kecantikan perempuan
itu, dia akan mengawininya, namun jika tidak menyukainya maka perempuan itu
dijadikannya sebagai gundik atau budak.
Dalam bentuk al-tajzi’ah, judi dipraktekkan dengan cara sebagai
berikut sepuluh orang laki-laki bermain kartu yang terbuat dari
potongan-potongan kayu (mungkin karena ketika itu kertas belum banyak dikenal).
Kartu yang disebut al-azlam atau al-aqlam itu berjumlah sepuluh buah. Terdiri
dari:
-
al-faz berisi satu bagian
-
al-tau’am berisi dua bagian
-
al-raqib berisi tiga bagian
-
al-Khalish berisi empat bagian
-
al-Nafis berisi lima bagian
-
al-musbil berisi enam bagian
-
al-mualli berisi tujuh bagian, merupakan bagian
terbanyak
-
tiga potong merupakan kartu kosong
masing-masing diberi nama al-safih, al-manih dan al-waqdl.
Dari kartu yang telah diisi tersebut semua berjumlah 28 bagian. Kemudian
seekor unta dipotong menjadi 28 bagian sesuai dengan jumlah isi kartu tersebut.
Selanjutnya kartu dengan nama-nama sepuluh buah itu dimasukkan ke dalam sebuah
karung dan diserahkan kepada seseorang yang dapat dipercaya. Kartu tersebut
kemudian dikocok dan dikeluarkan satu-per satu hingga habis. Setiap peserta
mengambil bagian dari daging unta itu sesuai dengan isi atau bagian yang
tercantum dalam kartu tersebut. Mereka yang mendapatkan kartu kosong, -yaitu
tiga orang sesuai dengan jumlah kartu kosong,-
dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan merekalah yang harus membayar
unta tersebut.
Sementara itu, mereka yang menang sedikitpun tidak mengambil daging unta
hasil kemenang$an itu, melainkan seluruhnya dibagi-bagikan kepada orang-orang
miskin. Mereka yang menang saling membangga-banggakan diri dan membawa-bawa
serta melibatkan pula suku atau kabilah mereka masing-masing. Di samping itu,
mereka menghina dan mengejek mereka yang kalah dengan menyebut-nyebut dan
mengolok-ngolok kabilah mereka. Tindakan ini selalu berakhir dengan percekcokan
dan permusuhan diantara mereka.
Dari dua bentuk al-maysir tersebut dapat dipahami bahwa unsur
penting lainnya dari permainan yang disebut al-maysir ini adalah
berhadap-hadapan langsung dan tidak ada pihak ketiga yang menjadi perantara. Di
samping itu, ada unsur taruhan yang akan membawa nasib seorang yang terlibat di
dalam pada kondisi ”menang – kalah”; dimana unsur menang-kalah ini didapatkan
dari proses yang tidak wajar, bahwa mengandung unsur impian.
Kondisi seperti inilah yang menjadi sasaran al-Qur’an, ketika al-Qur’an
mengharamkan al-maysir ini. Al-Qur’an menyebut kata al-maysir
sebanyak tiga kali: al-Baqarah 219,
al-Maidah 90 dan 91. Berdasarkan tiga ayat ini, para Ulama’ sepakat bahwa al-maysir
haram hukumnya. Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa unsur keharaman al-maysir
terletak pada adanya ”unsur taruhan” yang ada di dalamnya. Dalam pandangan
mereka ”unsur taruhan” ini merupakan illat dari diharamkannya maysir.
Oleh sebab itu, semua bentuk permainan yang ada ”taruhannya” maka permainan itu
dipandang sebagai judi dan hukumnya haram. Ibrahim Hosein, menambahi di samping
unsur taruhan, di dalam maysir juga ada unsur berhadap-hadapan atau
secara langsung. Maka baginya, permainan yang mengandung unsur taruhan tetapi
tidak dilaksanakan secara berhadap-hadapan (langsung) tidak dipandang sebagai maysir.
Inilah yang menjadi alasan mengapa Ibrahim Husen memandang bahwa SDSB pada masa
dulu tidak haram.
Dalam perkembangannya, sebuah praktek yang mengandung unsur taruhan ini
berkembang sedemikian luas. Dengan modus operandi yang berbeda-beda, orang
menyediakan fasilitas untuk mendapatkan keuntungan besar dengan cara yang tidak
wajar dan patut dicurigai ada unsur taruhan di dalamnya. Bahkan saat ini sulit
dibedakan antara prilaku yang mengandung unsur taruhan dengan yang tidak.
Semuanya berawal dari banyaknya bentuk permainan.
Jika anda memasukan satu dolar
ke mesin uang koin dan menarik tuasnya, hasilnya adalah anda menang atau
kalah. Itulah definisi sederhana dari perjudian, dimana setiap transaksi
didasarkan pada satu pihak yang menang dan pihak lain kalah. Secara harfiah
adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan
tanpa bekerja.
C.
Implementasi
Pada jaman sekarang ini bentuk-bentuk perjudian sudah berkembang demikian
pesatnya dan dikemas dengan indah. Contoh-contoh bentuk perjudian yang dikemas
dalam bentuk investasi, permainan dan lainnya adalah:
1. Bermain valas
Bermain valas dikategorikan perjudian karena pemilik dana menyerahkan
sejumlah uang tertentu pada agen untuk mendapatkan keuntungan tanpa adanya
proses jual beli valas yang sesungguhnya. Transaksi ini dikemas dengan nama
investasi pada pasar uang. Sesungguhnya tidak ada barang yang ditransaksikan,
semuanya bersifat semu. Pemilik dana tidak menerima valuta asing yang
dibelinya, agen tidak menyerahkan valas yang diamanatkan untuk dibeli oleh
pemilik dana. Transaksi seperti ini dikategorikan perjudian dan haram
dilakukan.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa
terkait jual beli mata uang, yaitu NO: 28/DSN-MUI/III/2002. Transaksi valas
yang diijinkan adalah berbentuk transaksi Spot. Transaksi spot yaitu transaksi
pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu
(over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua
hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari
dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (mimmaa laa
budda minhu) karena merupakan transaksi internasional. Adapun transaksi valas
yang tidak diperbolehkan berbentuk forward, swap dan option. Transaksi Forward,
yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada
saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam
sampai dengan satu tahun.
Transaksi forward hukumnya adalah haram, karena harga
yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya
dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum
tentu sama dengan nilai yang disepakati (mengandung gharar dan dharar ),
kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak
dapat dihindari (lil hajah). Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan
harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang
sama dengan harga forward. Transaksi swap hukumnya haram, karena mengandung
unsur maisir (spekulasi).
Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli
atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta
asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram,
karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
2. Bermain Indeks Harga Saham
Berbeda dengan jual beli saham, di mana pemilik dana membeli saham dan
memperoleh sertifikat saham senilai uang yang diserahkannya. Dalam transaksi
ini yang ditransaksikan adalah indeks harga sahamnya dan bukan sahamnya. Pemilik
dana menyerahkan uang tertentu (dikemas dengan nama investasi) kepada manajer
investasi (agen) untuk ditransaksikan dalam indeks harga saham. Salah satu
contoh adalah Indeks Hanseng, merupakan salah satu bursa saham cukup besar di
Hongkong. Manajer investasi akan memberikan informasi kepada investor (pemilik
dana) mengenai perkembangan indeks harga saham dan memberikan saran untuk
membeli atau menjual. Transaksi seperti ini haram karena mengandung unsur
maisir (perjudian). Tidak ada transaksi barang di dalamnya, yang ada adalah
jual beli secara semu. Investor mempertaruhkan uangnya untuk mendapatkan
keuntungan dari transaksi (permainan) tersebut tanpa adanya transaksi jual beli
secara riil.
3. Bermain Bursa Emas
Tidak jauh berbeda dengan dua contoh di atas, dalam kegiatan ini emas yang
ditransaksikan bersifat semu. Pemilik dana menyerahkan sejumlah uang kepada
agen (manajer investasi) untuk dimainkan dalam bursa emas. Manajer investasi
akan memberitahukan perkembangan harga emas dunia dan memberikan saran untuk
membeli atau menjual emas yang dimiliki pemilik dana. Emas yang dimaksud di
sini tidak pernah diterima barangnya oleh pemilik dana. Karena bersifat
permainan untuk mengambil keuntungan tanpa adanya transaksi riil, maka hukumnya
haram karena masuk dalam kategori jual beli ’inah atau jual beli yang tidak
terpenuhi syarat rukunnya.
Contoh lain dari maysir yaitu
praktek kuis sms. Praktek kuis sms hakekatnya bertujuan untuk meraup keuntungan besar yang
diperoleh dari para pemegang HP dengan menawarkan impian. Dalam kasus kuis sms,
sangat besar kemungkinan adanya unsur taruhan di dalamnya. Sementara itu, unsur
taruhan ini adalah telah disepakati ulama’ sebagai illat diharamkannya
judi. Maka, kuis sms dengan berbagai macam modus operandinya dapat dipersamakan
dengan judi.
Meski demikian, para ulama’ mencoba melakukan klarifikasi terhadap sebuah
praktek, bilamana praktek tersebut (kuis sms) sama dengan judi. Kuis sms dapat
dipersamakan dengan judi jika mengandung unsur-unsur;
1. Para penebak membayar sejumlah dana (dalam bentuk pulsa) sebagai syarat
untuk kemungkinan berhasil memperoleh keuntungan dengan resiko kerugian
hilangnya dana yang telah dibayarkan.
2. Pihak penyelenggara memperoleh keuntungan yang bersumber dari pembayaran sejumlah
dana oleh para penebak.
3. Keuntungan bagi pihak penyelenggara dan hadiah bagi sebagian penebak itu
berkibat pada kerugian bagi para penebak lain dengan hilangnya dana yang telah
dibayarkan.[1]
Secara tehnis dapat diklarifikasi; Pertama, apakah hadiah yang akan
diberikan kepada para pemirsa tersebut diambilkan dari akumulasi nilai SMS yang
masuk, ataukah ada sponsor yang kerjasama? Bila hadiah itu diambil dari
akumulasi SMS yang masuk, maka kuis SMS berhadiah itu termasuk maysir. Kedua,
Apakah penentuan harga SMS dalam kuis tersebut dilakukan untuk meraup
keuntungan atau ditujukan untuk pengganti biaya administrasi penyelenggaraan
kuis? Bila ditujukan untuk meraup keuntungan, maka dapat dikategorikan sebagai
maysir. Tapi bila ditujukan untuk biaya penyelenggaraan dan memenuhi
sarana-prasarana program, maka tidak dikatakan sebagai maysir. Ketiga,
apakah pemenang kuis SMS berhadiah tersebut ditentukan berdasar jawaban-jawaban
yang benar yang diberikan pengirim ketika menjawab pertanyaan penyelenggara,
ataukah berdasarkan hasil undian? Bila pertanyaan yang diterima pengirim SMS
berfungsi sebagai sarana seleksi pemenang kuis, maka kuis tersebut tidak
dinilai judi. Namun, jika jawaban yang diberikan oleh peserta kuis tersebut
hanya untuk diundi kembali, dan pemenang ditentukan dengan cara undian
tersebut, maka ia masuk kategori maysir.
Dalam prakteknya, modus operandi dari kuis sms ini konon telah mencapai
kurang lebih 60 jenis. Sepanjang semuanya mengandung hal-hal sebagaimana yang
di ungkapkan di atas, yang berpangkal pada unsur taruhan di dalamnya, maka
tidak ada keraguan lagi bahwa kuis sms itu patut dipersamakan dengan judi dan
hukumnya haram. Akan jauh lebih baik jika umat Islam berhati-hati dalam
menyikapi hal tersebut untuk tidak melibatkan diri dalam perjudian berbentuk
kuis sms ini.
Namun demikian, ada ”taruhan” yang menurut fiqh tidak masuk dalam kategori
maysir. Yaitu Pertama, barang
yang dijaidkan taruhan tersebut disediakan oleh pihak ketiga (pemerintah) atau
orang lain. Misalnya, pemerintah atau pihak III berkata kepada dua orang atau
lebih dalam suatu perlombaan. Siapa yang berhasil keluar sebagai pemenang akan
diberi hadiah. Berdasarkan kriteria ini maka perlombaaan olah raga yang
disponsori pemerintah atau pihak III dengan menyediakan hadiah tertentu baik
berupa uang maupun penghargaan untuk para pemenang tidak termasuk kategori al-maysir.
Kedua, taruhan itu bersifat sepihak. Yaitu berasal dari salah satu pihak yang
ikut dalam perlombaan tersebut. misalnya seseorang yang berkata pada temannya
yang diajaknya bertanding dalam suatu perlombaan. Jika kamu bisa mengalahkan
saya, saya akan memberimu hadiah. Akan tetapi jika kamu kalah tidak ada
kewajiban apapun atasmu untuk saya. Kriteria ini dipahami dari hadis Rasululab
SAW yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. Dalam hadis tersebut disebutkan
bahwa Rukanah, salah seorang kafir Quraish pernah mengajak Rasululah SAW untuk
mengikuti permainan gulat dengannya. Dia menawarkan beberapa ekor kambing jika
Rasulullah SAW menang. Dalam pertandingan itu ternyata Rasulullah menang dan
akhirnya Rukanah masuk Islam.
Contoh : anda dan teman anda bertaruh masing-masing Rp. 100.000,
dimana jika pasar sahan naik pada satu hari tertentu, anda menang. Namun, jika
bursa saham merosot, teman anda yang menang. Membayar untuk ikan yang ada
didalam laut juga bentuk perjudian karena laba seseorang tidaklah pasti. Juga,
tidak ada cukup informasi bagi kedua pihak untuk membuat kesepakatan yang
sama-sama menguntungkan.
yang membuat judi lebih buruk adalah juka itu terjadi di kasino,
dimana peluang memng sangatlah kecil buat anda. Islam tidak menoleransi
perempasan kekayaan orang lain secara tidak adil semacam ini, sesuatu yang
melumpuhkan kaum miskin, dan memperlebar kesenjangan kekayaan antara si kaya
dan si miskin.
D.
Analisis
Al-Quran melarang dengan tegas segala bentuk judi. Perhatikan Firman Allah
SWT selanjutnya tentang Maysir atau Judi dan efek negatif:
يَسْأَلُونَكَ عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِر ِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ
وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
[البقرة:219].
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamr dan maysir.Katakanlah, ”Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia. Tetapi
dosanya lebih besar daripada
manfaatnya….”
( QS
Al-Baqarah 2:219).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم
مُّنتَهُونَ
““Wahai orang-orang yang beriman!
Sesungguhnya minuman keras, maysir, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi
nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan)
itu agar kamu beruntung. Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).”
(QS. Al-Maidah, 5:90-91)
Ayat-ayat tersebut secara tegas menunjukkan keharaman judi. Selain judi itu
rijs yang berarti busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat
berdampak negatif pada semua aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi,
politik, ekonomi, sosial, moral, sampai budaya. Bahkan, pada gilirannya akan
merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebab setiap perbuatan
yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.
Akad judi menurut Dr.
Husain Hamid Hisan merupakan akad gharar, karena masing-masing pihak yang
berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang diambil atau
jumlah yang ia berikan, itu bisa ditentukan nanti, tergantung pada suatu
peristiwa yang tidak pasti, yaitu jika menang maka ia mengetahui jumlah yang
diambil, dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang ia berikan.
Jadi unsur perjudian merupakan salah satu dari ketiga hal yang dilarangan
paling mendasar dalam setiap
muamalat/bisnis. Larangan judi sering dijadikan alasan kritik atas
praktek pembiayaan konvensional seperti spekulasi, asuransi konvensional dan
derivative.
Jelas dari keternagan di atas bahwa Islam melarang semua benuk kejahtan
apapun, artinya semua perbuatan yang menimbulkan mudharat bagi diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan.
E.
Kesimpulan
Maysir atau Qimaar : adalah Perjudian, yakni
segala bentuk transaksi yang mengandung unsur untung-untungan, taruhan, yang
ketika akad itu terjadi hasil yang akan diperolehnya belum jelas, dalam
transaksi tersebut akan ada sebagian pihak yang diuntungkan dan sebagian pihak
yang dirugikan. Judi merupakan
kejahatan yang memiliki mudharat (dosa)
lebih besar daripada manfaatnya (QS Al-Baqarah :219).
Contoh bentuk perjudian yaitu:
1. Bermain valas
2. Bermain Indeks Harga Saham
3. Bermain Bursa Emas
Titik kritik agama terhadap praktek perjudian (maysir) setidaknya terletak
pada dua hal; yaitu maysir akan menyeret pelakunya pada kehidupan boros.
Seseorang yang dihinggapi impian muluk-muluk tanpa mau berpijak pada realitas
akan mudah terseret pada sikap tabdzir. Akibat lebih serius dari sifat
ini adalah menjauhkan manusia dari solidaritas sosial yang sangat dibutuhkan
bagi kehidupan bermasyarakat. Mereka akan selalu mengejar angan-angan kosongnya
dengan harapan akan mendapatkan keuntungan berlimpah dengan cara mudah.
Sementara agenda membantu orang yang membutuhkan di sekitarnya tidak pernah
mereka hiraukan. Bahkan kebuthan sendiri yang seharusnya mendapatkan prioritas
tergadaikan oleh keborosannya.
Kedua, maysir akan menghadirkan sikap permusuhan antar kelompok. Pemenang taruhan
akan membawa dirinya sebagai orang yang merasa mampu mempecundangi lawannya.
Dan dalam diri yang kalah, akan muncul perasaan ”dipecundangi” yang pada
akhirnya memunculkan sifat permusuhan. Ilustrasi yang kami kutip di awal
tulisan ini, adalah bukti konkrit dari titik kritik agama terhadap maysir ini. Wallhu
a’lam bi al-shawab.
Sumber:
1.
Miswati.
2016. Maysir dan Gharar dalam Islam. https://miswati79.blogspot.co.id/2016/10/makalah-maysir-dan-gharar-dalam-islam.html diakses pada tanggal 11 Juni 2016.
2.
Afandi,
M. Yazid. KUIS SMS: Samakah Dengan Judi (haram)?
[1] Penjelasan di atas merupakan rangkuman dari
penjelasan Syeikh Manshur ibn Yunus ibn Idris Al-Bahutiy di dalam Kasysyaf
al-Qina' (Jilid VI, H.424), Syeikh Sulaiman ibn 'Umar ibn Muhammad
al-Bujairimi di dalam Hasyiyah al-Bujairimi 'Ala al-Iqna' (Jilid 3, H.
348), Syeikh Muhammad 'Ali Ash-Shabuniy di dalam Rawai' al-Bayan Tafsir
Ayat Al-Qur'an (Jilid I, H. 279), dan Syaikh Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh
al-Islamiy Wa Adillatuh (Jilid VII, H.4981-4982).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar