RESUME
AN EXPLORATORY STUDY
OF SHARI'AH ISSUES
IN
THE APPLICATION OF TABARRU' FOR TAKAFUL
“Aplikasi Tabarru’ dalam Takaful”
M. Mahbubi Ali,
Rusni
Hassan, Shabana M. Hasan
Oleh: Riska
Yanty (15830074)
1. PENDAHULUAN
Perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah atau
dikenal dengan takaful yaitu terletak pada konsep dan kontrak yang
mendasarinya. Takaful menggunakan konsep tabarru’ (donasi) sedangkan asuransi
konvensional menggunakan kontrak pertukaran yang mengandung riba, gharar
(ketidakpastian) dan maysir (perjudian). Dengan kata lain, keuntungan satu
pihak ditentukan oleh kerugian pihak lain. Oleh karena itu, konsep takaful
diharapkan dapat menghilangkan unsur-unsur tersebut dengan mengubah kontrak pertukaran
menjadi konsep tabarru’. Dimana konsep tabarru' mentolerir ketidakpastian
melalui dana tabarru' tidak digunakan untuk kegiatan mencari keuntungan melainkan
untuk tujuan saling membantu saja. Jika peserta menghadapi kejadian tak terduga
di masa depan, kelompok orang kemudian akan berusaha untuk menghimpun dana
ganti rugi dan bantuan timbal balik bagi peserta. Namun, walaupun konsep
tabarru' telah diterima secara luas sebagai solusi alternatif dari sistem
konvensional yang ada, masih banyak isu Syari'ah yang kontroversial dalam
penerapan tabarru' untuk takaful. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji isu
seputar penggunaan tabarru 'dalam perusahaan takaful.
2.
KONSEP TAKAFUL
a.
Definisi
Takaful
Kata
"Takaful" berasal dari kata kunci kafala yang berarti jaminan atau
ganti rugi. Secara teknis, takaful adalah asuransi bersama dimana sekelompok
peserta setuju untuk menyumbangkan sejumlah dana untuk membantu satu sama lain
dari kerugian finansial yang ditetapkan di masa depan yang timbul dari
malapetaka.
b.
Akad dan Model Takaful
Konsep
tabarru 'diterapkan dalam takaful. Berdasarkan konsep ini, setiap peserta
menyumbangkan sejumlah dana kontribusi untuk saling membantu dan saling memberi
ganti rugi jika terjadi malapetaka di masa depan. Dana takaful dibagi menjadi
dua dana terpisah: Participant Risk Fund (PRF) dan Participant Investment
Fund (PIF). Posisi perusahaan takaful dalam konteks ini sebagai agen atau
manajer investasi para peserta. Dengan demikian, akad mendasar yang utama
digunakan untuk menunjukkan hubungan antara perusahaan takaful dan peserta yaitu
akad mudharabah dan akad wakalah.
1.
Model Mudharabah
Dalam
takaful, penyedia modal dikenal sebagai peserta sementara manajer investasi
adalah perusahaan takaful. Berdasarkan akad ini, perusahaan takaful akan menerima
dana dari para peserta. Dana tersebut dianggap sebagai modal yang akan dikelola
dan diinvestasikan dengan cara yang sesuai dengan syari'ah. Akad menentukan
bahwa keuntungan dari pengelolaan dana akan dibagi antara perusahaan takaful
dan peserta berdasarkan rasio yang disepakati pada perjanjian awal. Jika
terjadi kerugian dalam Participant's Risk Fund (PRF), perusahaan takaful harus
memberikan pinjaman bunga (qard) yang harus dilunasi saat PRF menghasilkan
keuntungan. Jika ada surplus underwriting, akan dibagikan kepada peserta karena
bukan bagian dari keuntungan. Namun, kondisi ini tidak disukai oleh sebagian
besar perusahaan takaful. Dengan demikian, perusahaan takaful membuat model
mudharabah yang dimodifikasi dimana surplus underwriting ditafsirkan sebagai
"keuntungan mudharabah" untuk dibagi antara peserta dan perusahaan
takaful.
2. Model
Wakalah
Muwakkil
dikenal sebagai peserta sementara wakil dianggap sebagai perusahaan takaful.
Sebagai kompensasi, perusahaan takaful berhak mendapatkan biaya yang telah
ditentukan sebelumnya. Perusahaan takaful kemudian menginvestasikan dana
tersebut dalam investasi sesuai syariah. Setiap keuntungan atau surplus akan
didistribusikan sepenuhnya kepada para peserta. Tidak adanya pembagian surplus
dalam model Wakalah membuat perusahaan takaful untuk mempertimbangkan kembali
model yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, beberapa perusahaan takaful
kemudian mengusulkan penerapan wakalah yang dimodifikasi. Dalam model ini,
perusahaan takaful berhak mendapatkan pra bayar berdasarkan prinsip wakalah dan
secara bersamaan merupakan bagian dari surplus, disebut biaya kinerja.
3. Model Hybrid
Model
hybrid pada dasarnya diformulasikan dengan menggunakan kombinasi mudharabah dan
wakalah. Gagasan umum model ini adalah memungkinkan setiap individu untuk
saling membantu dalam hal bencana menggunakan dana wakaf. Dengan menggunakan
model ini, pemegang saham perusahaan takaful awalnya melakukan donasi dalam
membangun dana wakaf. Bersamaan dengan itu, peserta juga menyumbangkan jumlah
donasi untuk dimasukkan ke dalam dana wakaf. Dalam pengertian ini, dana wakaf
terdiri dari dua sumber; dana pemegang saham dan dana peserta. Dana kemudian
diinvestasikan dalam kegiatan bisnis Syari'ah. Jika salah satu peserta
mengalami malapetaka, keuntungan yang dihasilkan dari dana wakaf akan digunakan
untuk membantu masing-masing peserta. Perusahaan takaful dalam model ini
berfungsi sebagai agen (wakil) baik pemegang saham maupun peserta untuk mengelola
dana, termasuk pembayaran klaim. Serta bertindak sebagai agen investasi untuk
membantu menginvestasikan dana dalam kegiatan usaha yang Syari’ah. Perusahaan
kemudian akan diberi kompensasi dengan persentase tertentu dari biaya fee dan
kinerja yang telah ditentukan sebelumnya.
3.
ISU SYARI'AH DALAM KONSEP TABARRU’
a.
Isu
dalam Penerapan Konsep Talibru untuk Takaful
Sumbangan yang dibayarkan oleh peserta mungkin bukan menjadi
sumbangan dalam arti murni. Sebaliknya, sumbangan itu dibuat secara
kondisional: masing-masing peserta harus menyumbangkan jumlah tertentu untuk
menutupi kerugian finansial yang tak terduga di masa depan. Hal ini menimbulkan
isu Syari'ah di antara para ilmuwan sebagai konsep tabarru' yang seharusnya
dilakukan secara sukarela dan bukan berdasarkan kewajiban. Selain itu, juga
diperdebatkan bahwa jika peserta berhak mengajukan klaim sebagai kompensasi
atas iuran yang dibayarkan, maka akan mengubah keseluruhan struktur konsep
takaful menjadi suatu kontrak bilateral (mu'awadah) dimana uang dalam bentuk
donasi dipertukarkan dengan uang berupa klaim. Dalam hal ini, isu gharar dan
maysir seperti halnya konvensional, terjadi karena ketidakpastian hal yang
dipertukarkan.
Beberapa ulama menegaskan bahwa prinsip membuat sesuatu yang
sukarela menjadi kewajiban secara substansial didukung oleh mazhab pemikiran
Maliki. Berdasarkan sudut pandang ini, kontribusi yang dibuat oleh peserta
dianggap sebagai iltizam bi al-tabarru' (komitmen untuk menyumbangkan) yang
disetujui oleh Syari'ah. Beberapa ilmuwan tidak setuju dengan konsep ini karena
terdiri dari dua komitmen - sumbangan dan ganti rugi yang mengarah pada kontrak
bilateral. Namun, hal ini dibantah meskipun konsep tersebut memiliki dua
komitmen - sumbangan dan ganti rugi, yang terakhir (ganti rugi) tidak pasti
karena terkait dengan terjadinya malapetaka. Oleh karena itu, tidak hanya
setara dengan pertukaran atau kontrak bilateral.
Di sisi lain, fakta bahwa kontribusi yang dibuat sebagai
"harga" untuk ganti rugi dipandang oleh beberapa ilmuwan bahwa
tabarru 'dalam takaful tercermin dalam bentuk hibah bi thawab (hadiah dengan
kompensasi yang diharapkan). Mayoritas ahli hukum, kecuali Imam Shafii,
berpandangan bahwa sumbangan yang diberikan dengan harapan mendapatkan
kompensasi diperbolehkan. Kendati demikian, penerapan hibah bi thawab, menurut
ahli hukum, akan mengubah sifat tabarru' dari kontrak sepihak dengan kontrak
bilateral. Dengan kata lain, jika hadiah itu dibuat sebagai ganti klaim yang
diterima di masa depan, keputusan pemberian setara dengan keputusan penjualan. Dalam
pengertian ini, kontrak takaful merupakan kontrak pertukaran dimana isu gharar
dan maysir diterapkan. Namun beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hibah bi
thawab dianggap sebagai kontrak sepihak seperti hadiah murni dengan semua
keputusan dan implikasinya (Qurrah Daghi, 2004).
b.
Isu
tentang Surplus Underwriting
Persoalan utama dalam perspektif ini yaitu apakah perusahaan
takaful berhak mendapat bagian dalam surplus underwriting atau surplus hanya
dimiliki oleh peserta saja, sehingga harus didistribusikan kembali kepada
mereka. Perlu dicatat bahwa ada dua pandangan berbeda dalam distribusi surplus
underwriting. Pandangan pertama memperlakukan surplus sebagai hak eksklusif
peserta sehingga harus didistribusikan sepenuhnya kepada mereka. Pandangan
kedua percaya untuk membagikan surplus underwriting antara peserta dan perusahaan
takaful.
Dewan Penasehat Syariah Bank Negara Malaysia telah membuat resolusi
bahwa distribusi surplus dari dana tabarru' dalam skema takaful diperbolehkan menurut
perspektif Syari'ah. Resolusi dewan tersebut dalam mengizinkan penyaluran
surplus dari dana tabarru’ kepada peserta / pemegang sertifikat dan perusahaan
takaful didasarkan pada premis bahwa kontrak takaful umumnya dibuat berdasarkan
asas syariah 'gotong rol' dan 'gotong royong', terlepas dari kesepakatan di
antara pihak-pihak yang melakukan kontrak. Resolusi dewan untuk mengizinkan
distribusi semacam itu juga didasarkan pada diperbolehkannya biaya kinerja bagi
perusahaan takaful.
Sebaliknya, dalam kasus Indonesia, perlakuan terhadap surplus
underwriting cenderung mengadopsi pendekatan yang lebih moderat. Fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia mengenai
distribusi surplus mencoba mengakomodasi praktik GCC dan Malaysia. Isu berikut
muncul sehubungan dengan kepemilikan surplus dari sisi Syariah. AAOIFI tidak
diragukan lagi dalam memastikan bahwa surplus tersebut masih termasuk dalam
peserta karena berasal dari kontribusi yang dibayarkan oleh mereka. Namun,
peserta telah menyumbangkan premi itu sebagai tabarru', seperti yang ditentukan
oleh peraturan hibahin syariah.
Untuk mengatasi masalah kepemilikan saham dalam surplus
underwriting, beberapa ilmuwan mengajukan penerapan "kontribusi
bersyarat" kepada dana takaful. Dengan konsep ini, peserta akan
menyumbangkan sejumlah dana untuk bantuan timbal balik mengenai kondisi
tersebut. Jika ada kelebihan dalam dana tersebut, maka dana tersebut harus
didistribusikan kembali kepada peserta. Bouheraoua & Ahmad, 2011 mengajukan
konsep wadiah yaddhamanah (diamankan dengan jaminan) untuk diterapkan operasi
dalam takaful. Berdasarkan kontrak ini, perusahaan takaful akan bertindak
sebagai kustodian atau lembaga penyimpanan dimana peserta akan menempatkan dana
mereka sebagai deposit, ditambah dengan klausul pelepasan untuk melepaskan
sejumlah deposit untuk tujuan membebaskan para peserta lainnya. Dengan konsep
ini, dana masih menjadi milik peserta dan terbukanya distribusi surplus.
c.
Re-takaful:
Kurangnya perusahaan takaful yang cukup besar untuk memberikan re-takaful yang
memadai
Proses reasuransi adalah resiko ditransfer ke risiko yang lebih besar
lagi, dikelola oleh perusahaan asuransi yang lebih besar. Merupakan sebuah cara
untuk mengurangi risiko paparan lebih lanjut. Isunya perusahaan takaful telah
dikenal menggunakan reasuransi sebagai metode manajemen risiko. Sementara itu,
proses reasuransi dijalankan oleh re-asuransi konvensional, maka
prinsip-prinsip syariah takaful tidak diperhatikan. Hal ini disebabkan
kurangnya operator takaful yang cukup besar untuk memberikan re-takaful yang
memadai.
Masalah tersebut diatasi oleh Bank Negara Malaysia yang telah menyetujui
aplikasi dari Munich Re dan MNRB Holdings Berhad untuk mendirikan perusahaan
retakaful pertama di bawah Undang-Undang Takaful 1984. Inisiatif ini merupakan
salah satu langkah Bank Negara Malaysia secara terus menerus untuk
mengembangkan infrastruktur kelembagaan guna mendukung pengembangan industri
takaful. Sektor takaful telah tumbuh 25% per tahun selama lima tahun terakhir
dan total aset industri mencapai RM 6,5 miliar. Pembentukan perusahaan
retakaful ini juga akan mempromosikan Malaysia sebagai pusat bisnis retakaful
internasional, yang merupakan salah satu langkah yang diambil untuk
mempromosikan Malaysia sebagai pusat keuangan Islam internasional.
4.
KESIMPULAN
Isu utama dalam penerapan konsep
takaful tabarru’ terletak pada aspek tabarru yang diterapkan. Banyak pandangan
bahwa tabarru' seharusnya dilakukan secara sukarela tanpa mengharapkan
kompensasi apapun dan bukan berdasarkan kewajiban. Dikatakan bahwa jika peserta
berhak mengajukan klaim sebagai kompensasi atas iuran yang dibayarkan, maka akan
mengubah keseluruhan struktur konsep takaful menjadi suatu kontrak bilateral
(mu'awadhah) dimana uang dalam bentuk sumbangan dipertukarkan dengan uang dalam
bentuk klaim. Persoalan lain adalah distribusi surplus akibat pengelolaan dana
tabarru’. Beberapa pandangan bahwa surplus tersebut adalah hak eksklusif para
peserta sementara yang lain berpendapat bahwa peserta telah menyumbangkan kontribusinya
sebagai tabarru', maka kehilangan haknya. Selain itu isu tentang re-takaful
yang sudah diatasi oleh Malaysia dengan menyetujui dua perusahaan re-takaful dari
takaful ternama. Indonesia harapannya bisa mengatasi masalah re-takaful ini
seperti di Malaysia.
Singkatnya, perkembangan industri
takaful telah menempuh perjalanan jauh. Banyak isu Syariah kontroversial yang harus
diselesaikan. Menemukan konsep takaful yang ideal adalah tugas para ilmuwan,
peneliti, dan pelaku industri. Penelitian ekstensif dan studi mendalam sangat
penting untuk mencapai model ideal sebagai dasar untuk operasionalisasi
takaful, sebuah model yang berfungsi sebagai jembatan pencapaian tujuan mulia
Syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar