Page

Sabtu, 21 April 2018

AN EXPLORATORY STUDY OF SHARI'AH ISSUES IN THE APPLICATION OF TABARRU' FOR TAKAFUL “Aplikasi Tabarru’ dalam Takaful”


RESUME
AN EXPLORATORY STUDY OF SHARI'AH ISSUES
IN THE APPLICATION OF TABARRU' FOR TAKAFUL
“Aplikasi Tabarru’ dalam Takaful”
M. Mahbubi Ali, Rusni Hassan, Shabana M. Hasan
Oleh: Riska Yanty (15830074)

1.      PENDAHULUAN
Perbedaan antara asuransi konvensional dengan asuransi syariah atau dikenal dengan takaful yaitu terletak pada konsep dan kontrak yang mendasarinya. Takaful menggunakan konsep tabarru’ (donasi) sedangkan asuransi konvensional menggunakan kontrak pertukaran yang mengandung riba, gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian). Dengan kata lain, keuntungan satu pihak ditentukan oleh kerugian pihak lain. Oleh karena itu, konsep takaful diharapkan dapat menghilangkan unsur-unsur tersebut dengan mengubah kontrak pertukaran menjadi konsep tabarru’. Dimana konsep tabarru' mentolerir ketidakpastian melalui dana tabarru' tidak digunakan untuk kegiatan mencari keuntungan melainkan untuk tujuan saling membantu saja. Jika peserta menghadapi kejadian tak terduga di masa depan, kelompok orang kemudian akan berusaha untuk menghimpun dana ganti rugi dan bantuan timbal balik bagi peserta. Namun, walaupun konsep tabarru' telah diterima secara luas sebagai solusi alternatif dari sistem konvensional yang ada, masih banyak isu Syari'ah yang kontroversial dalam penerapan tabarru' untuk takaful. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji isu seputar penggunaan tabarru 'dalam perusahaan takaful.
2.      KONSEP TAKAFUL
a.       Definisi Takaful
Kata "Takaful" berasal dari kata kunci kafala yang berarti jaminan atau ganti rugi. Secara teknis, takaful adalah asuransi bersama dimana sekelompok peserta setuju untuk menyumbangkan sejumlah dana untuk membantu satu sama lain dari kerugian finansial yang ditetapkan di masa depan yang timbul dari malapetaka.
b.      Akad dan Model Takaful
Konsep tabarru 'diterapkan dalam takaful. Berdasarkan konsep ini, setiap peserta menyumbangkan sejumlah dana kontribusi untuk saling membantu dan saling memberi ganti rugi jika terjadi malapetaka di masa depan. Dana takaful dibagi menjadi dua dana terpisah: Participant Risk Fund (PRF) dan Participant Investment Fund (PIF). Posisi perusahaan takaful dalam konteks ini sebagai agen atau manajer investasi para peserta. Dengan demikian, akad mendasar yang utama digunakan untuk menunjukkan hubungan antara perusahaan takaful dan peserta yaitu akad mudharabah dan akad wakalah.
1.      Model Mudharabah
Dalam takaful, penyedia modal dikenal sebagai peserta sementara manajer investasi adalah perusahaan takaful. Berdasarkan akad ini, perusahaan takaful akan menerima dana dari para peserta. Dana tersebut dianggap sebagai modal yang akan dikelola dan diinvestasikan dengan cara yang sesuai dengan syari'ah. Akad menentukan bahwa keuntungan dari pengelolaan dana akan dibagi antara perusahaan takaful dan peserta berdasarkan rasio yang disepakati pada perjanjian awal. Jika terjadi kerugian dalam Participant's Risk Fund (PRF), perusahaan takaful harus memberikan pinjaman bunga (qard) yang harus dilunasi saat PRF menghasilkan keuntungan. Jika ada surplus underwriting, akan dibagikan kepada peserta karena bukan bagian dari keuntungan. Namun, kondisi ini tidak disukai oleh sebagian besar perusahaan takaful. Dengan demikian, perusahaan takaful membuat model mudharabah yang dimodifikasi dimana surplus underwriting ditafsirkan sebagai "keuntungan mudharabah" untuk dibagi antara peserta dan perusahaan takaful.
2.      Model Wakalah
Muwakkil dikenal sebagai peserta sementara wakil dianggap sebagai perusahaan takaful. Sebagai kompensasi, perusahaan takaful berhak mendapatkan biaya yang telah ditentukan sebelumnya. Perusahaan takaful kemudian menginvestasikan dana tersebut dalam investasi sesuai syariah. Setiap keuntungan atau surplus akan didistribusikan sepenuhnya kepada para peserta. Tidak adanya pembagian surplus dalam model Wakalah membuat perusahaan takaful untuk mempertimbangkan kembali model yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, beberapa perusahaan takaful kemudian mengusulkan penerapan wakalah yang dimodifikasi. Dalam model ini, perusahaan takaful berhak mendapatkan pra bayar berdasarkan prinsip wakalah dan secara bersamaan merupakan bagian dari surplus, disebut biaya kinerja.
3.      Model Hybrid
Model hybrid pada dasarnya diformulasikan dengan menggunakan kombinasi mudharabah dan wakalah. Gagasan umum model ini adalah memungkinkan setiap individu untuk saling membantu dalam hal bencana menggunakan dana wakaf. Dengan menggunakan model ini, pemegang saham perusahaan takaful awalnya melakukan donasi dalam membangun dana wakaf. Bersamaan dengan itu, peserta juga menyumbangkan jumlah donasi untuk dimasukkan ke dalam dana wakaf. Dalam pengertian ini, dana wakaf terdiri dari dua sumber; dana pemegang saham dan dana peserta. Dana kemudian diinvestasikan dalam kegiatan bisnis Syari'ah. Jika salah satu peserta mengalami malapetaka, keuntungan yang dihasilkan dari dana wakaf akan digunakan untuk membantu masing-masing peserta. Perusahaan takaful dalam model ini berfungsi sebagai agen (wakil) baik pemegang saham maupun peserta untuk mengelola dana, termasuk pembayaran klaim. Serta bertindak sebagai agen investasi untuk membantu menginvestasikan dana dalam kegiatan usaha yang Syari’ah. Perusahaan kemudian akan diberi kompensasi dengan persentase tertentu dari biaya fee dan kinerja yang telah ditentukan sebelumnya.
3.      ISU SYARI'AH DALAM KONSEP TABARRU’
a.       Isu dalam Penerapan Konsep Talibru untuk Takaful
Sumbangan yang dibayarkan oleh peserta mungkin bukan menjadi sumbangan dalam arti murni. Sebaliknya, sumbangan itu dibuat secara kondisional: masing-masing peserta harus menyumbangkan jumlah tertentu untuk menutupi kerugian finansial yang tak terduga di masa depan. Hal ini menimbulkan isu Syari'ah di antara para ilmuwan sebagai konsep tabarru' yang seharusnya dilakukan secara sukarela dan bukan berdasarkan kewajiban. Selain itu, juga diperdebatkan bahwa jika peserta berhak mengajukan klaim sebagai kompensasi atas iuran yang dibayarkan, maka akan mengubah keseluruhan struktur konsep takaful menjadi suatu kontrak bilateral (mu'awadah) dimana uang dalam bentuk donasi dipertukarkan dengan uang berupa klaim. Dalam hal ini, isu gharar dan maysir seperti halnya konvensional, terjadi karena ketidakpastian hal yang dipertukarkan.
Beberapa ulama menegaskan bahwa prinsip membuat sesuatu yang sukarela menjadi kewajiban secara substansial didukung oleh mazhab pemikiran Maliki. Berdasarkan sudut pandang ini, kontribusi yang dibuat oleh peserta dianggap sebagai iltizam bi al-tabarru' (komitmen untuk menyumbangkan) yang disetujui oleh Syari'ah. Beberapa ilmuwan tidak setuju dengan konsep ini karena terdiri dari dua komitmen - sumbangan dan ganti rugi yang mengarah pada kontrak bilateral. Namun, hal ini dibantah meskipun konsep tersebut memiliki dua komitmen - sumbangan dan ganti rugi, yang terakhir (ganti rugi) tidak pasti karena terkait dengan terjadinya malapetaka. Oleh karena itu, tidak hanya setara dengan pertukaran atau kontrak bilateral.
Di sisi lain, fakta bahwa kontribusi yang dibuat sebagai "harga" untuk ganti rugi dipandang oleh beberapa ilmuwan bahwa tabarru 'dalam takaful tercermin dalam bentuk hibah bi thawab (hadiah dengan kompensasi yang diharapkan). Mayoritas ahli hukum, kecuali Imam Shafii, berpandangan bahwa sumbangan yang diberikan dengan harapan mendapatkan kompensasi diperbolehkan. Kendati demikian, penerapan hibah bi thawab, menurut ahli hukum, akan mengubah sifat tabarru' dari kontrak sepihak dengan kontrak bilateral. Dengan kata lain, jika hadiah itu dibuat sebagai ganti klaim yang diterima di masa depan, keputusan pemberian setara dengan keputusan penjualan. Dalam pengertian ini, kontrak takaful merupakan kontrak pertukaran dimana isu gharar dan maysir diterapkan. Namun beberapa ahli hukum berpendapat bahwa hibah bi thawab dianggap sebagai kontrak sepihak seperti hadiah murni dengan semua keputusan dan implikasinya (Qurrah Daghi, 2004).
b.      Isu tentang Surplus Underwriting
Persoalan utama dalam perspektif ini yaitu apakah perusahaan takaful berhak mendapat bagian dalam surplus underwriting atau surplus hanya dimiliki oleh peserta saja, sehingga harus didistribusikan kembali kepada mereka. Perlu dicatat bahwa ada dua pandangan berbeda dalam distribusi surplus underwriting. Pandangan pertama memperlakukan surplus sebagai hak eksklusif peserta sehingga harus didistribusikan sepenuhnya kepada mereka. Pandangan kedua percaya untuk membagikan surplus underwriting antara peserta dan perusahaan takaful.
Dewan Penasehat Syariah Bank Negara Malaysia telah membuat resolusi bahwa distribusi surplus dari dana tabarru' dalam skema takaful diperbolehkan menurut perspektif Syari'ah. Resolusi dewan tersebut dalam mengizinkan penyaluran surplus dari dana tabarru’ kepada peserta / pemegang sertifikat dan perusahaan takaful didasarkan pada premis bahwa kontrak takaful umumnya dibuat berdasarkan asas syariah 'gotong rol' dan 'gotong royong', terlepas dari kesepakatan di antara pihak-pihak yang melakukan kontrak. Resolusi dewan untuk mengizinkan distribusi semacam itu juga didasarkan pada diperbolehkannya biaya kinerja bagi perusahaan takaful.
Sebaliknya, dalam kasus Indonesia, perlakuan terhadap surplus underwriting cenderung mengadopsi pendekatan yang lebih moderat. Fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia mengenai distribusi surplus mencoba mengakomodasi praktik GCC dan Malaysia. Isu berikut muncul sehubungan dengan kepemilikan surplus dari sisi Syariah. AAOIFI tidak diragukan lagi dalam memastikan bahwa surplus tersebut masih termasuk dalam peserta karena berasal dari kontribusi yang dibayarkan oleh mereka. Namun, peserta telah menyumbangkan premi itu sebagai tabarru', seperti yang ditentukan oleh peraturan hibahin syariah.
Untuk mengatasi masalah kepemilikan saham dalam surplus underwriting, beberapa ilmuwan mengajukan penerapan "kontribusi bersyarat" kepada dana takaful. Dengan konsep ini, peserta akan menyumbangkan sejumlah dana untuk bantuan timbal balik mengenai kondisi tersebut. Jika ada kelebihan dalam dana tersebut, maka dana tersebut harus didistribusikan kembali kepada peserta. Bouheraoua & Ahmad, 2011 mengajukan konsep wadiah yaddhamanah (diamankan dengan jaminan) untuk diterapkan operasi dalam takaful. Berdasarkan kontrak ini, perusahaan takaful akan bertindak sebagai kustodian atau lembaga penyimpanan dimana peserta akan menempatkan dana mereka sebagai deposit, ditambah dengan klausul pelepasan untuk melepaskan sejumlah deposit untuk tujuan membebaskan para peserta lainnya. Dengan konsep ini, dana masih menjadi milik peserta dan terbukanya distribusi surplus.
c.       Re-takaful: Kurangnya perusahaan takaful yang cukup besar untuk memberikan re-takaful yang memadai
Proses reasuransi adalah resiko ditransfer ke risiko yang lebih besar lagi, dikelola oleh perusahaan asuransi yang lebih besar. Merupakan sebuah cara untuk mengurangi risiko paparan lebih lanjut. Isunya perusahaan takaful telah dikenal menggunakan reasuransi sebagai metode manajemen risiko. Sementara itu, proses reasuransi dijalankan oleh re-asuransi konvensional, maka prinsip-prinsip syariah takaful tidak diperhatikan. Hal ini disebabkan kurangnya operator takaful yang cukup besar untuk memberikan re-takaful yang memadai.
Masalah tersebut diatasi oleh Bank Negara Malaysia yang telah menyetujui aplikasi dari Munich Re dan MNRB Holdings Berhad untuk mendirikan perusahaan retakaful pertama di bawah Undang-Undang Takaful 1984. Inisiatif ini merupakan salah satu langkah Bank Negara Malaysia secara terus menerus untuk mengembangkan infrastruktur kelembagaan guna mendukung pengembangan industri takaful. Sektor takaful telah tumbuh 25% per tahun selama lima tahun terakhir dan total aset industri mencapai RM 6,5 miliar. Pembentukan perusahaan retakaful ini juga akan mempromosikan Malaysia sebagai pusat bisnis retakaful internasional, yang merupakan salah satu langkah yang diambil untuk mempromosikan Malaysia sebagai pusat keuangan Islam internasional.
4.      KESIMPULAN
Isu utama dalam penerapan konsep takaful tabarru’ terletak pada aspek tabarru yang diterapkan. Banyak pandangan bahwa tabarru' seharusnya dilakukan secara sukarela tanpa mengharapkan kompensasi apapun dan bukan berdasarkan kewajiban. Dikatakan bahwa jika peserta berhak mengajukan klaim sebagai kompensasi atas iuran yang dibayarkan, maka akan mengubah keseluruhan struktur konsep takaful menjadi suatu kontrak bilateral (mu'awadhah) dimana uang dalam bentuk sumbangan dipertukarkan dengan uang dalam bentuk klaim. Persoalan lain adalah distribusi surplus akibat pengelolaan dana tabarru’. Beberapa pandangan bahwa surplus tersebut adalah hak eksklusif para peserta sementara yang lain berpendapat bahwa peserta telah menyumbangkan kontribusinya sebagai tabarru', maka kehilangan haknya. Selain itu isu tentang re-takaful yang sudah diatasi oleh Malaysia dengan menyetujui dua perusahaan re-takaful dari takaful ternama. Indonesia harapannya bisa mengatasi masalah re-takaful ini seperti di Malaysia.
Singkatnya, perkembangan industri takaful telah menempuh perjalanan jauh. Banyak isu Syariah kontroversial yang harus diselesaikan. Menemukan konsep takaful yang ideal adalah tugas para ilmuwan, peneliti, dan pelaku industri. Penelitian ekstensif dan studi mendalam sangat penting untuk mencapai model ideal sebagai dasar untuk operasionalisasi takaful, sebuah model yang berfungsi sebagai jembatan pencapaian tujuan mulia Syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar