Page

Minggu, 10 Juli 2016

THEOLOGY ISLAM (ILMU KALAM)



RESENSI BUKU
TAUHID

THEOLOGY ISLAM (ILMU KALAM)

DISUSUN OLEH:
RISKA YANTY (15830074)

PROGRAM STUDI KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016


Judul               : Theology Islam (Ilmu Kalam)
Penulis             : Ahmad Hanafi M.A.
Penerbit           : Bulan Bintang Jakarta
Halaman          : 192 halaman
Cetakan           : ke-4, 1982

            Buku Teologi Islam karya Ahmad Hanafi ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1962. Buku ini sangat representatif untuk melihat sejarah dan perkembangan ilmu kalam mulai dari kemunculannya, aliran-alirannya dan juga pokok-pokok yang melingkupi persoalan-persoalan di dalamnya. Ahmad Hanafi melakukan pendekatan historis dan komparatif, di sisi lain ia juga memberikan deskripsi tentang perdebatan-perdebatan yang terjadi di masing-masing golongan yang saling bertentangan.
Apa itu Teologi? Menurut pengertian umum, Teologi adalah ilmu yang membicarakan kenyataan dan fenomena agama serta hubungan manusia dengan Tuhan yang dikaji melalui jalan penyelidikan, pemikiran murni atau dengan wahyu. Ilmu Kalam dan Teologi tetap sama pembicaraannya. Apa yang berbeda adalah Ilmu Kalam menggunakan prinsip-prinsip daripada ajaran Islam. Maka Ilmu Kalam atau Ilmu Tauhid dapat juga dinamakan sebagai Teologi Islam.
Buku ini disusun agar membawa suasana baru di dalam lapangan Ilmu Kalam. Dari segi penyusunan, buku ini dibuat dengan 3 bagian. Pertama, membicarakan tentang sejarah Ilmu Kalam; kedua membicarakan aliran dalam Ilmu Kalam; dan ketiga, membicarakan beberapa persoalan mengenai Ilmu Kalam.
Dari segi bahan kajian, setiap persoalan di dalam buku ini dibahas seluas mungkin dan bersifat perbandingan. Maksudnya, perbicaraan itu mencakup seluruh aliran di dalam Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan juga filsafat yang lain. Sistem perbicaraannya tidak hanya menekankan tentang persoalan Ilmu Kalam saja tetapi lebih menjurus terhadap segi sejarah pembicaraannya.
Karya A. Hanafi ini bukan buku primer. Yang primer adalah buku "al milal wannihal". Biasanya buku-buku teologi islam dimulai dengan sejarah tumbuhnya pemikiran dan pergerakan sekte-sekte Islam pasca meninggalnya Nabi Muhammad. Mulai munculnya Khowarij, Syiah, Jabariyah, Qodariyah, Mu'tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah dan seterusnya.
Apa itu Khowarij, Jabariah, Syiah, Mu'tazilah dan seterusnya, bagaimana konsep-konsep teologisnya? Siapa-siapa saja tokohnya? Bagaimana mereka memahami "arsy", Tuhan, alam barzah dan akhirat, kehendak manusia, surga neraka dan seterusnya. Bisa kita baca di buku ini.
Ilmu Kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang Rasul-Rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya.
Di buku ini membicarakan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Ilmu Kalam, baik dari faktor-faktor itu dari dalam Islam dan kaum Muslimin sendiri maupun dari luar mereka. Siapa yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam itu Ilmu Islam murni yang tidak terpengaruh oleh filsafat dan agama-agama lain, maka tidak benar. Yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam timbul dari filsafat Yunani semata-mata juga tidak benar, karena Islam menjadi dasarnya dan sumber pembicaraan. Ayat-ayat Qur-an banyak dijadikan dalil disamping filsafat Yunani. Sebenarnya Ilmu Kalam itu campuran dari Ilmu keislaman dan filsafat Yunani, tetapi kepribadian kaum muslimin di dalam ilmu ini lebih kuat.
Terdapat perbedaan metode antara Ilmu Kalam dan filsafat diantaranya, mutakallimin adalah laksana pembela perkara yang ikhlas dan menganggapnya benar. Sedang filsof adalah seorang hakim yang memeriksa suatu perkara. Ilmu Kalam lebih tepat dinamakan ilmu keislaman, meskipun terpengaruh oleh filsafat Yunani, sedang filsafat Islam kalau dinamakan Ilmu keislaman maka hanya dalam lahirnya saja. Selain itu dibahas juga tentang perbedaan metode antara Qur-an dan Imu Kalam.
Antara Theology Islam dan Theology Yahudi terdapat tiga persoalan yang sama, yaitu: tasybih (assimilation), jabr dan ikhtiyar (determinism atau predestination dan indeterminism atau Free-Will), dan raja’ah (second coming).
Pengaruh orang-orang Masehi pada pemikiran Islam pada umumnya tidaklah lebih daripada pengarahan pembicaraan problim-problim dan pemecahannya, sedang problim-problim itu sendiri terdapat dalam Islam. Beberapa pemecahan problim itu meskipun datang kepada mereka dalam bentuk masehi yang difilsafatkan, namun pada akhirnya filsafat Yunani juga yang menjadi sumbernya, seperti dalam soal-soal Oknum.
Terdapat  aliran-aliran dalam Ilmu Kalam. Diantaranya aliran Asy’ariyyah yang biasanya dikatakan mewakili golongan Ahli Sunnah. Apakah sudah benar demikian? Perlu peninjauan lagi. Ada aliran Mu’tazilah yang biasanya dikatakan sesat oleh aliran Asy’ariyyah, bahkan telah kafir, sedang pendapat-pendapatnya banyak yang masuk akal. Tuduhan tersebut tidak perlu diteruskan atau diulangi, selain bukan pada tempatnya, juga untuk menjaga kesatuan Ummat Muslimin.
Selain itu ada aliran Maturidiyyah yang bermaksud mempertemukan aliran Mu’tazilah dengan aliran Asy’ariyyah. Maturidiyyah dan Asy’ariyyah kedua-duanya dianggap mewakili ahli-Sunnah. Pendapat-pendapat Maturidiyyah banyak yang sama dengan pendapat-pendapat aliran Mu’tazilah.
Perbedaan prinsipiil antara Maturidy dan Mu’tazilah ialah, dalam soal dosa besar. Apakah manusia yang mengerjakan dosa besar akan abadi di neraka atau bisa diampuni Tuhan? Menurut Mu’tazilah orang tersebut tidak mungkin mu’min dan tidak kafir. Balasannya adalah neraka juga, tetapi lebih ringan dari pada orang-orang kafir, dan akan abadi. Menurut Maturidy, pendirian Mu’tazilah menunjukkan adanya putus asa dari rahmat Tuhan, yang mungkin bisa mengampuni dosa-dosa besar, selain syirik (mempersekutukan Tuhan). Sebab perbedaan tersebut ialah, apakah perbuatan lahir (amal) menjadi bagian iman atau tidak? Menurut Mu’tazilah ya, tetapi menurut Maturidy tidak.
Terakhir ada aliran Ibn Rusyd yang pada umumnya dapat membuktikan kepercayaan Islam dengan bukti-bukti atau dalil-dalil yang dapat diterima akal dan dapat memperbaiki pendapat-pendapat aliran Mu’tazilah. Hanya dalam satu soal saja, yaitu soal ARAH, ia menetapkan adanya. Di mana ia menyalahi kebanyakan Ulama Kalam, karena ia tetap memegangi lahir nas-nas Syara’.
Mengenai dalil-dalil wujud Tuhan, tidak berlebih-lebihan kiranya kalau dikatakan bahwa dalil-dalil aliran Asy’ariyyah dan Mu’tazilah bukan dalil Syara’ bukan pula dalil yang rasionil murni, dan dengan sengaja mereka mengesampingkan dalil-dalil Syara’.
Dalil-dalil yang dikemukakan Ibn Rusyd sesuai dengan dalil-dalil Qur-an yang juga menjadi dalil para filosof. Teori Causalitet diambil dari Aristo dan dalil tujuan (teleology) diambil dari Plato, akan tetapi Ibn Rusyd telah dapat memperbaiki fikiran-fikiran kedua orang filosof tersebut, sehingga mendekati Syara’, karena Aristo mengingkari perhatian Tuhan, dan kedua-duanya menetapkan qidam-nya alam.
Alangkah baiknya kalau Ulama kalam menggalikan Qur-an langsung, tanpa menggunakan dalil-dalil yang tidak kuat. Qur-an sesuai untuk semua tingkatan orang; bagi orang biasa, karena kenyataan menunjukkan benarnya isi Qur-an; bagi orang-orang tertentu karena ayat-ayat tersebut berisi pula dalil akal-fikiran yang bisa diuraikan panjang lebar, menurut kesanggupan orang yang menerimanya. Perbedaan antara orang biasa dan orang alim, ialah seperti dua orang, yang satu hanya tahu bahwa alam ini dibuat, tanpa mengetahui apa tujuannya dan bagaimana cara mengambil manfaatnya, sedang temannya mengetahui hal itu semua.
Dalil keesaan Tuhan ada tiga macam, yaitu: dalil filosof-filosof Islam, dalil Ulama kalam, dan dalil Ibn Rusyd. Dalam soal sifat ada tiga pendapat: pendapat Mu’tazilah yang meniadakan bilangan, bagaimana pun juga macamnya, karena sifat-sifat itu adalah hakekat zat, sedang zat Tuhan satu, Esa; pendapat orang Masehi yang mengatakan berbilangnya yang qadim, dan masing-masing berdiri sendiri; pendapat golongan Asy’ariyyah yang mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan meskipun qadim, ada pada zat Tuhan yang satu.
Kalau kita perbandingkan pendapat-pendapat tersebut, pendapat Mu’tazilah yang lebih dekat kepada prinsip keesaan dan pensucian terhadap Tuhan (tauhid dan tanzih) dan prinsip peniadaan persamaan Tuhan dengan makhluk. Meskipun mereka disayangkan mencetuskan persoalan yang sukar diselesaikan akal manusia. Hanya dari segi inilah, perbuatan mereka dikatakan jauh dari maksud Syara’ dan berlawanan dengan Qur-an. Pendapat yang benar dalam soal sifat ialah pengakuan adanya sifat-sifat pada Tuhan tanpa membicarakan qadim dan hadistnya.
Ulama kalam tidak sama pendapatnya tentang sifat Tuhan berupa perbuatan, baik tentang definisinya maupun tentang qadim-hadistnya. Perbedaan-perbedaan pendapat tersebut sebenarnya tidak prinsipiil, sebab dasarnya ialah keinginan masing-masing pihak untuk mempertahankan prinsip tanzih yang sudah ditetapkan oleh Qur-an. Maturidy dalam soal aktifa lebih mendekati pendirian salaf, sedang aliran Asy’ariyyah dan Mu’tazilah jauh, karena ia tidak memisah-misahkan antara sifat-sifat aktifa dan sifat zat dari segi qadim atau hadistnya. Juga karena ia mengatakan bahwa hubungan Tuhan dengan alam tidak mengandung waktu dari segi Tuhan sendiri, sehingga tidak bisa dikataakan bahwa sebagian perbuatannya adalah baru.
Dalam alasan-alasan Asy’ary dan golongan Asy’ariyyah banyak hal-hal yang sukar diterima akal. Aliran Mu’tazilah berpendapat, karena mustahil syarat-syarat materiil untuk melihat dengan mata kepala diperlakukan pada Tuhan, maka mereka mengemukakan pemecahan yang logis, yaitu bahwa ru’yat di akhirat dimaksudkan menambah pengetahuan tentang Dia, tambahan mana hanya dapat dimiliki orang-orang yang sabar.
Ibn Rusyd memandang suatu bid’ah, mengemukakan soal ru’yat kepada orang banyak. Mereka tidak dapat menerima ru’yat terhadap sesuatu yang bukan benda, bagaimanapun juga macamnya ru’yat itu cukuplah dikuatkan bahwa Tuhan itu cahaya langit dan bumi, sesuai dengan ketentuan nash Syara’ agar mereka tidak janggal menerimanya.
Kelemahan buku ini adalah ianya lebih membicarakan soal-soal tentang Ketuhanan. Seandainya penulis mampu memasukkan persoalan tentang kenabian dan akhirat, mungkin akan menjadi lebih baik dan pembaca dapat memahami lebih mendalam lagi tentang Ilmu Kalam.
Buku ini adalah salah satu buku yang perlu dibaca saat mengambil mata kuliah di IAIN, khususnya fakultas Ushuludin. Karena di sana ada mata kuliah yang semacam 'MKDU' yang ditujukan bagi mahasiswa IAIN atau STAIN. Mata kuliah itu disebut Teologi Islam. Di beberapa tempat, mata kuliah ini disebut Ilmu Kalam. Mata kuliah ini ada yang diajarkan selama dua semester dan ada juga yang hanya satu semester dengan bobot 3 SKS.
Setelah membaca buku ini, saya berasa amat kagum dengan khazanah para intelektual Islam. Bagi saya, Ilmu Kalam itu lebih bertunjang terhadap logik akal. Walau apa sekalipun, sebagai seorang Muslim, kita haruslah berpegang teguh terhadap dalil al Qur an dan hadits. Semoga resensi buku ini akan menambah lagi ilmu kita tentang kehebatan intelektual Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar