MAKALAH
PENGANTAR STUDI ISLAM
GENDER DALAM PRESPEKTIF ISLAM
DISUSUN
OLEH:
MIRZA PRADIKA TASTAFTIYAN (15830071)
DEVRIS EL FARIZI (15830072)
WULIDA SALILA ARIFAH (15830073)
RISKA YANTY (15830074)
KEUANGAN
SYARI’AH
FAKULTAS
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UINVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Menilik pada persoalan
gender di Indonesia sekarang ini, berbagai masalah kesetaraan gender mulai
mencuat ke permukaan. Seringkali seseorang menjudge bahwa gender disamakaan
dengan sex (perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan) yang nantinya
menentukan sikap, peran dan tanggungjawab yang dibentuk oleh struktur social
itu sendiri. Sebagai akibat dari pembagian peran dan
kedudukan yang sudah melembaga antara laki-laki dan perempuan, baik secara
langsung berupa sikap, maupun tidak langsung berupa dampak suatu peraturan
perundang-undangan dan kebijakan, telah menimbulkan berbagai ketidakadilan.
Ketidakadilan ini
jangan didiamkan begitu saja, karena akan dapat membatasi ruang lingkup kaum
feminism maupun maskulin untuk bergerak secara luas. Penduduk
Indonesia mayoritas beragama islam yang menempatkan agama sebagai sesuatu
yang sangat penting, sehingga pemikiran gender pun dapat disoroti dan
dianalisis dengan menggunakan kacamata Islam. Maka dari itu kami akan membahas
pada makalah ini yang berjudul”Gender dalam Prespektif Islam”.
2.1 Rumusan Masalah
a. Apa Definisi
Gender?
b. Apa
Perbedaan Gender dengan Sex ?
c. Bagaimana
Gender dalam perspektif Islam?
3.1 Tujuan Penulisan
a. Mengetahui definisi Gender secara luas.
b. Mengetahui spesifikasi dan perbedaan
antara gender dengan sex.
c. Mengetahui pandangan islam tentang
Gender.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Gender
Kata gender berasal
dari bahasa Inggris gender, dalam kamus bahasa inggeris-indonesia
berarti jenis kelamin. Sedangkan
dalam Webster’s New World Dictionary gender diartikan sebagai perbedaan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah
laku.
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis
kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian, kikta dilahirkan
sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan
kita maskulin atau feminine adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan
interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat memiliki berbagai
naskah untuk diikuti oleh anggotanya seperti mereka belajar memainkan peran
feminine atau maskulim, sebagaimana halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya
sendiri.
Sejak kita sebagai bayi mungil hingga mencapai
usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang telah
ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan.
Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater
menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminine atau maskulin.
Perangkat perilaku khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian, sikap,
kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung
jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran gender kita.
Begitu lahir, kita mulai mempelajari peran
gender kita. Dalam satu studi laboratory mengenai gender, kaum ibu diundang
untuk bermain dengan bayi orang lain yang didandani sebagai anak perempuan atau
laki-laki. Tidak hanya gender dari bayi itu yang menimbulkan bermacam-macam
tanggapan dari kaum perempuan, tetapi perilaku serupa dari seorang bayi
ditanggapi secara berbeda, tergantung kepada bagaimana ia didandani. Ketika si
bayi didandani sebagai laki-laki, kaum perempuan tersebut menanggapi inisiatif
si bayi dengan aksi fisik dan permainan. Tetapi ketika bayi yang sama tampak
seperti perempuan dan melakukan hal yang sama tampak seperti perempuan dan
melakukan hal yang sama, kaum perempuan itu menenangkan dan menghiburnya.
Dengan kata lain, sejak usia enam bulan anak-anak telah direspon menurut
stereotype gender
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan
kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin
merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep
lainnya adalah konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang konstruksi secara sosial maupun cultural.
B.
Perbedaan Gender dengan Sex
Pengertian sex adalah pembagian jenis kelamin
yang terdiri dari perempuan dan laki-laki, yang telah ditentukan oleh Tuhan,
sebagai kodrat Allah Swt. Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki
dapat dilihat baik dari ciri fisik primer maupun ciri fisik sekunder dari organ
dan fungsi reproduksinya. Karenanya seks relatif tidak dapat ditukar atau
diubah.
Gender
|
Sex
|
Dapat berubah
Dapat dipertukarkan
Tergantung waktu
Tergantung budaya setempat
Bukan merupakan Kodrat Tuhan
Buatan manusia
|
Tidak dapat berubah
Tidak dapat dipertukarkan
Berlaku sepanjang masa
Berlaku di mana saja
Merupakan Kodrat Tuhan
Ciptaan Tuhan
|
C. Gender dalam
Persepektif Islam
Sebelum menguraikan bagaimana pandangan Islam terhadap
gender, perlu dikemukakan terlebih dahulu pandangan masyarakat dunia secara
umum terhadap perempuan, terutama sebelum turunnya kitab suci Al-Qur’an. Kemudian baru ditelaah bagaimana
pandangan Al-Qur’an terhadap gender, serta bagaimana
penafsiran ulama terdahulu dan kontemporer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
Sejarah telah menginformasikan bahwa
sebelum diturunkannya kitab suci
Al-Qur’an, berbagai peradaban umat manusia telah berkembang sedemikian rupa, seperti halnya
peradaban bangsa Yunani, Romawi, India, Cina dan yang lainnya. Dan juga sebelum
datangnya agama Islam, telah datang terlebih dahulu berbagai agama, seperti
agama Zoroaster, Buddha, dan yang paling belakangan adalah agama Yahudi dan
Nasrani.
Pada puncak peradaban Yunani, perempuan tidak mendapat
penghargaan yang adil, karena mereka dianggap alat pemenuhan naluri seks
laki-laki. Kaum laki-laki diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi
kebutuhan dan selera tersebut, dan para perempuan dipuja untuk itu.
Patung-patung telanjang yang terlihat dewasa ini di Eropa adalah merupakan
bukti yang menyatakan pandangan itu.
Peradaban Romawi juga tidak begitu berbeda
dengan Yunani, menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan pindah ke tangan suami. Kekuasaan ini
mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Peristiwa
tragis ini berlangsung sampai pada abad V Masehi. Segala hasil usaha perempuan,
menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Konstantin (abad XV), terjadi sedikit
perubahan dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan, dengan
catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui terlebih dahulu oleh keluarga
(suami/ayah).
Peradaban Hindu dan Cina, juga tidak lebih baik. Hak hidup
bagi seorang perempuan yang telah bersuami harus berakhir pada saat kematian
suaminya, istri terkadang harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya
dibakar. Tradisi ini baru berakhir pada abad XVII Masehi.
Sepanjang abad pertengahan nasib perempuan tetap sangat
memperihatinkan, sampai dengan tahun 1805 perundang-undangan Inggris masih
mengakui hak suami untuk menjual istrinya, bahkan sampai dengan tahun 1882
perempuan Inggris belum lagi mempunyai hak kepemilikan harta benda secara
penuh, termasuk hak menuntut ke pengadilan.
Untuk dapat mengetahui keberadaan dan peran yang dimainkan
Islam, diperlukan pemahaman mendalam terhadap stratifikasi sosial budaya bangsa
Arab menjelang dan ketika Al-Qur’an diturunkan. Misi Al-Qur’an hanya dapat
dipahami secara utuh setelah memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan
boleh jadi, sejumlah ayat dalam Al-Qur’an (termasuk ayat-ayat yang menjelaskan
gender), dapat disalah pahami tanpa memahami latar belakang
sosial budaya masyarakat Arab. Justru itu sebelum membahas lebih jauh, perlu
diperkenalkan secara umum kondisi geografis dan pola kehidupan mereka yang
tentunya ikut mengambil peran dalam proses pembentukan budaya masyarakat Arab.
Jazirah Arab mempunyai daerah yang cukup luas, dan sebagian
besar wilayahnya terdiri dari padang pasir. Hanya sebagian kecil wilayahnya di
bagian selatan dan utara, daerah yang subur. Posisi geografisnya yang jauh dari
pusat-pusat kerajaan besar dan kondisi alamnya yang sulit dijangkau,
menyebabkan kawasan ini luput dari cengkeraman 2 (dua) imperium besar Romawi
dan Persia.
Mata pencaharian penduduk kebanyakan beternak bagi mereka
yang mendiami kawasan tandus, bercocok tanam bagi mereka yang berada di kawasan
yang subur. Kelangsungan hidup mereka tergantung pada alam, dan pembagian peran
dalam masyarakat sangat tergantung pada kondisi obyektif keadaan alam.
Laki-laki bekerja sebagai pencari nafkah keluarga dan mempertahankan keutuhan
dan kehormatan kabilah (sektor publik), dan perempuan bekerja mengasuh anak dan
mengatur urusan rumah tangga (sektor domestik).
Pada masa Jahiliyah, anak-anak perempuan kehadirannya tidak
diterima sepenuh hati oleh masyarakat Arab. Pandangan mereka ini telah direkam
oleh Al-Qur’an, mulai dari sikap yang paling ringan yaitu bermuka masam, sampai
pada sikap yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi mereka yang perempuan.
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. telah
memperjuangkan dan berhasil meningkatkan derajat perempuan yang sebelumnya
mereka tertindas. Kaum perempuan yang
sebelumnya tidak menerima warisan, malah termasuk barang yang diwariskan, oleh
Islam diberikan porsi waris yang tetap (faraidh). Islam mendudukkan
perempuan sebagai makhluk Allah sederajat dengan pria dengan hak dan
tanggungjawabnya yang adil dan seimbang. Tetapi, kenyataan bahwa perempuan
Muslimah pada masa-masa berikutnya pernah dan sebagian masih mengalami
perlakuan yang berbeda dan diskriminatif, juga telah menjadi catatan historis dan kajian para ahli.
Al-Qur’an, sebagai sumber utama dalam ajaran Islam, telah
menegaskan ketika Allah Yang Maha Pencipta menciptakan manusia termasuk di
dalamnya, laki-laki dan perempuan. Paling tidak ada empat kata yang sering
digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk manusia, yaitu basyar, insan dan al-nas,
serta bani adam.
Masing-masing kata ini merujuk makhluk ciptaan Allah yang terbaik (fi
ahsan taqwim), meskipun memiliki potensi untuk jatuh ke titik yang serendah-rendahnya
(asfala safilin), namun dalam penekanan yang berbeda. Keempat kata ini
mencakup laki-laki dan perempuan.
Al-Qur’an, yang diwahyukan dalam bahasa Arab yang fasih,
mengenal pembedaan antara kata-ganti (dhamir/pronoun)
laki-laki dan perempuan, baik sebagai lawan bicara atau orang kedua (mukhatab), maupun sebagai orang ketiga (ghaib),
namun perbedaan itu tidak ada sebagai orang pertama (mutakallim). Dalam
tradisi penggunaan bahasa Arab, penggunaan bentuk maskulin, sebagai orang kedua
atau ketiga, mencakup juga yang feminin. Pengucapan salam, assalamu
‘alaikum, misalnya, yang memakai bentuk maskulin (kum), mencakup
juga audiensi perempuan, hingga terasa ‘berlebihan’ untuk menambahi ‘alaikunna
yang secara langsung menunjuk kaum
perempuan.
Berbicara mengenai prinsip kesadaran gender dalam perspektif
Islam, setidaknya kita dapat mengajukan 5 (lima) variable yang dapat digunakan
sebagai ukuran untuk menguji bagaimana kitab suci Al-Qur’an memberitakan pemahaman
terhadap gender...
1.
Sebagai hamba Allah. Al-Qur’an menyebutkan bahwa salah
satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepadaTuhan. Dalam
kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba
ideal. Hamba ideal dalam Al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang
bertaqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis
kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu.
2.
Sebagai
khalifah di bumi.
Maksud dan tujuana penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, disamping untuk
menjadi hamba (‘abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah
SWT, juga untuk menjadi khalifah di bumi
(khalifah fi al-ard). Kata khalifah
tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu.
Laki-laki dan perempuan menpunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan
mempertanggung jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana
halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
3.
Sebagai
penerima perjanjian/ikrar ketuhanan yg sama. Laki-laki dan perempuan sama-sama
mengamban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti
diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih
dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya
4.
Sebagai
hamba yang punya tanggung jawab. Semua ayat yang memuat cerita tentang keadaan Adam dan
pasangannya di surga sampai keluar ke bumi selalu menekankan kedua belah pihak
secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang هما(huma) yakni kata ganti untuk Adam dan
Hawa
5.
Sebagai
hamba yang berpotensi meraih prestasi. Peluang untuk meraih prestasi
maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.
Kelima variable di atas memberikan informasi bahwa
penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan substansi
antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun antara keduanya mempunyai perbedaan
maka substansi perbedaannya tidak pernah ditonjolkan. Ini mengisyaratkan bahwa
Al-Qur’an mempunyai pandangan yang cukup positif terhadap perempuan.
Keberhasilan Nabi Muhammad SAW. membangun pilar-pilar dasar
peradaban Islam didasarkan atas kekokohan pribadi Muslim dan solidnya lembaga
keluarga yang dibangun dalam prinsip kemitraan cinta-kasih (jawz) dan
resiprositas luhur (mu’asyarah bi al-ma’ruf) untuk membangun keluarga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Nabi Muhammad SAW. mengangkat
derajat perempuan dengan memperkuat landasan teologis-spiritual, dan merombak
iklim kultural yang berkembang serta menjabarkannya dalam kehidupan keluarganya
serta dalam kebijakan pemerintahannya. Koherensi dan konsistensi ajaran Islam
Islam dengan praktek Rasulullah inilah yang dicatat sebagai suatu revolusi
kultural pada saat itu.
Jika demikian halnya mengapa ada dalam Al-Qur’an ayat-ayat
yang membedakan perlakuan terhadap perempuan? Untuk mengawali, patut diingat
bahwa membedakan perlakuan bukan berarti memperlakukan seorang secara tidak
adil. Keadilan (justice) tidaklah
identik dengan persamaan (equality).
Dalam kajian filsafat, jauh sebelum Islam, Aristoteles sudah mengulas
konsep keadilan yang dapat disimpulkan pada prinsip treating equals equally’
(memperlakukan mereka yang sama secara sama).
Memperlakukan mereka yang sama secara berbeda tentu
ketidakadilan. Namun jika mereka memang tidak sama, malah jika diperlakukan
sama (treating unequals equally), maka ketidakadilan yang terjadi. Atau,
mereka yang sama diperlakukan berbeda (treating equals unequally), tentu
kezaliman yang muncul. jadi mereka harus diperlakukan secara
sama dalam aspek-aspek yang mereka sama, serta mesti diperlakukan berbeda,
aspek-aspek yang memang mereka berbeda.
Tanpa harus masuk dalam kompleksitas penafsiran dan
reinterpretasi terhadap ayat-ayat di atas dan yang sejenisnya, ada dua hal pokok yang patut
dicermati. Pertama Al-Qur’an sebagai
wahyu Allah merupakan hal yang sakral dan absolut, namun pemahaman,
interpretasi dan penjabarannya merupakan hasil jerih payah para ulama. Kedua ajaran Islam karena bersumber dari
Allah Yang Maha Tahu dan Bijak, tentu seyogianya merupakan suatu kesatuan yang
komprehensif dan tidak kontradiktif antara satu dengan lain. Dari sisi inilah,
beberapa penafsir berupaya menyaring prinsip-prinsip pokok serta menghimpun
nilai-nilai dasar ajaran Islam yang bersifat universal dan permanen, yang harus
dipilah dari ketentuan-ketentuan yang bersifat temporal dan situasional yang
terkait dengan tuntutan ruang dan waktu.
Hal inilah yang dilakukan para ulama kita di negeri ini.
Mereka telah berijtihad baik secara perorangan maupun jama’ah untuk menemukan
prinsip dan nilai tersebut, serta menjabarkan dan menerapkannya di bumi
Indonesia pada masa kini. Berbagai penafsiran ulang dan perumusan baru
diperkenalkan. Sekedar memperkenalkan salah satunya yang mungkin sering
terlupakan, yaitu perlakukan terhadap lembaga perkawinan dan relasi timbale balik suami isteri yang setelah dikaji ternyata
lembaga perkawinan dalam budaya Indonesia jauh berbeda dengan lembaga yang sama
di jazirah Arab di masa lalu.
Namun masih banyak lagi yang harus dilakukan. Upaya
menyaring nilai dan menemukan prinsip ajaran Islam bukan hal yang mudah,
termasuk juga untuk mensosialisasikan dan menerapkannya sebagai pedoman untuk
menyusun pranata kehidupan manusia kini dan di sini. Masih banyak apa yang sebelumnya hanya produk
pemikiran dan upaya penafsiran dianggap bagian dari ajaran agama yang universal
atau prinsip yang permanen. Untuk itu marilah kita berupaya dengan sepenuh hati
dan seluruh daya upaya untuk membaca, mempelajari dan menelaah sumber-sumber
ajaran agama serta berusaha memahami tuntutan wahyu dan panduan hadits hingga
kita dapat menerapkan ajaran Islam yang rahmat li al-‘alamin tersebut dalam ruang waktu kita sekarang ini.
Berikut ini dipaparkan beberapa
prinsip kesetaraan gender dalam Islam, sbb.:
- Laki-Laki Dan Perempuan Sama-Sama Hamba Allah
Salah satu tujuan penciptaan
manusia, untuk menyembah Allah SWT., sebagaimana dinyatakan dalam surat
az-Zariyat/51:56, sbb. :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)
Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
Semua manusia mempunyai kesempatan
sama untuk menjadi hamba
ideal di mata Allah SWT.,
yaitu menjadi orang yang bertaqwa. Untuk mencapai derajat ini tidak dikenal
adanya perbedaan jenis kelamin maupun etnis. Dalam kapasitasnya sebagai hamba
Allah, laki-laki dan perempuan akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai
kadar pengabdiannya, sebagaimana dinyatakan surat An-Nahl/16:97,
sbb.:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(97)
Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.
2.
Laki-Laki Dan Perempuan Sebagai Khalifah Di Muka Bumi
Maksud dan tujuan penciptaan manusia
di muka bumi di samping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta
mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi, sebagaimana
dinyatakan dalam surat al-An’am/6:165, sbb.:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ
الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي
مَا ءَاتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ
رَحِيمٌ(165)
Dan Dialah
yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian
kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan
sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kata khalifah dalam ayat Alquran
surat al-An’am/6:165 ini tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin atau
kelompok etnis tertentu.
3.
Laki-Laki Dan Perempuan Menerima Perjanjian Allah
Laki-laki dan perempuan sama-sama
mengemban amanah dan menerima perjanjian dari Tuhan. Sebelum anak manusia
keluar dari rahim ibunya, terlebih dahulu harus menerima perjanjian dari Allah
dan berikrar akan keberadaan-Nya sebagaimana
dinyatakan dalam surat Al-A’raf/7:172, sbb.:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي
ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (172)
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"
Dengan demikian, sejak awal kejadian
manusia, dalam Islam tidak dikenal sistem diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki
dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
4.
Laki-Laki Dan Perempuan Sama-Sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang meraih prestasi maksimum
dimiliki setiap laki-laki maupun perempuan tanpa ada pembedaan. Islam
menawarkan konsep kesetaraan gender yang ideal dengan memberi ketegasan bahwa
prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional
tidak harus dimonopoli salah satu jenis kelamin, sebagaimana dinyatakan dalam
surat Ali-Imran/3:195, sbb.:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي
لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ
بَعْضٍ ..... الأية (195)
Maka Tuhan
mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain.
Namun dalam kenyataannya, di
tengah-tengah masyarakat sekarang ini, konsep ideal tersebut masih membutuhkan
tahapan dan sosialisasi karena terdapat beberapa kendala budaya yang tidak
mudah diselesaikan.
Kesetaraan
yang telah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara
laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu
tadafu’), harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai
fungsi dan tugas tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti
dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah untuk menciptakan
dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan postur tubuh serta
jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan komposisi
kimia dalam tubuh.
Hal
ini akibat membawa efek kepada perbedaan dalam tugas ,kewajiban dan hak. Dan
hal ini sangatlah wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir
sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan
Marxis. Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan,
sebagiamana anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada persatuan
dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau
ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis
manusia ini dalam semua bidang. Al Qur’an telah meletakkan batas yang
jelas dan tegas di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang
terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan
poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan
keluarga.
BAB II
PENUTUP
Simpulan
Meskipun
agama islam sudah menjelaskan bahwasannya tidak ada perbedaan
antara perempuan dan laki-laki, baik
sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai
tanggung jawab. Perbedaan yang mendasar hanyalah dalam masalah waris, kesaksian
dan kepemimpinan dalam keluarga. Namun realitanya masih terjadi persoalan
kesetaraan gender yang ada di masyarakat. Untuk menanggapi dan menghindari
persoalan itu, diperlukan prinsip rahmatan lil ‘alamin,anti kekerasan, anti
diskriminasi. Pada dasarnya agama islam ialah agama yang tidak mungkin
bertentangan dengan kemanusian dan nilai-nilai sosial.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar