Page

Rabu, 22 Juni 2016

Analisis UU No. 37 Tahun 2004



ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2004
TENTANG
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
BAB II
KEPAILITAN

Mata Kuliah Hukum Bisnis
Dosen Pengampu: Farid Hidayat, S.H., M.S.I.


Oleh: Riska Yanty (15830074)

PRODI KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015/2016
    
Prosedur Kepailitan
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004. Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Pengajuan selain dapat dilakukan oleh kreditur atau lembaga yang diberikan kewenangan yaitu debitur itu sendiri. Debitur yang melakukan permohonan kepailitan pada Perseroan Terbatas harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.       Surat permohonan bermaterai ditujukan kepada ketua pengadilan niaga
b.      Akta pendafataran perusahaan yang dilagalisir oleh kantor perdagangan
c.       Putusan sah Rapat umum Pemegang Saham (RUPS)
d.      Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
e.       Neraca keuangan terakhir
f.       Nama serta alamat debitur dan kreditur
Syarat yang harus dilakukan oleh kreditur yang melakukan permohonan kepailitan adalah:
a.       Surat permohonan yang bermaterai yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan Niaga
b.      Akta pendaftaran perusahaan yang dilegalisir oleh ketua perdagangan
c.       Surat perjanjian utang yang ditanda tangani kedua belah pihak
d.      Perincian utang yang tidak terbayar
e.       Nama dan alamat masing-masing kreditur/debitur

Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan
Syarat-syarat yang dapat mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan pasal 2 adalah sebagai berikut :
a.       Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
b.      Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum
c.       Debitor adalah bank maka permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya
merupakan kewenangan bank Indonesia.
d.      Debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan hanya dapat diajukan oleh BPPM
e.       Debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension atau BUMN.

Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah debitor harus mempunyai 2 kreditor atau lebih. Apabila hanya tedapat satu orang kreditor, maka eksistensi UUK-PKPU kehilangan raison d’etre-nya. Dalam hal ini, kreditor diperbolehkan pengajuan pernyataan pailt. Namun demikian persyaratan jumlah kreditor tidak diatur secara jelas dalam UUK-PKPU. Dan pula mengenai ketidakadanya peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pendaftaran setiap utang yang diterima oleh setiap debitor pada suatu badan khusus, membuat kreditor pemohon sulit mengetahui adanya kreditor-kreditor lain dari debitor. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 299 UUK-PKPU, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitor memiliki lebih dari satu kreditor dan beserta buktinya.
Kreditor yang dimaksud Pasal 2 ayat (1) adalah boleh sembarang kreditor, tanpa mempertimbangkan apakah kreditor preferen ataupun kreditor konkuren maupun kreditor separatis. Sehubungan dengan pasal ini, maka kreditor pemegang hak jaminan tidak harus terlebih dahulu melepaskan hak jaminannya itu apabila ingin mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitornya.
Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20 hari sejak permohonan di mana dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau pencocokan utang antara debitur dengan kreditur. Dalam rapat verifikasi atau pencocokan utang seorang debitor wajib datang sendiri agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawasmengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Pada rapat pencocokan utang setelah semua pihak hadir baik debitor, kurator, maupun kreditor, hakim pengawasakan membacakan daftar piutang yang diakui sementara dan daftar yang dibantah oleh kurator.
Tahap putusan atas permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar sedangkan perbedaan besarnya utang didalihkan oleh permohonan pailit dan termohon pailit tidak menghalangi jatuhnya putusan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.
Pada proses pengurusan harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan kepengurusan yaitu:
a.       Hakim pengawas yang melakukan pengawasan pada pengurusan dan pemberesan harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37 Tahun 2004
b.      Kurator, memiliki tugas melakukan pemberesan harta pailit
Dalam hal kepailitan terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan, kasasi ke Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan pailit yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Proses pengurusan kepailitan dianggap telah berakhir apabila telah terjadi hal-hal seperti berikut:
a.       Akur atau perdamaian, terjadi ketika terdapat perjanjian antara debitur pailit dengan para kreditur di mana debitur menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut dibebaskan dari sisa utangnya.
b.      Insolvensi atas pemberesan harta pailit, ketika terjadi insolvensi apabila kepailitan tidak ditawarkan akur atau perdamaian atau tidak dipenuhinya suatu kesepakatan sehingga terjadi keadaan tidak mampu membayar, sebagaimana diatur pada pasal 178 UU no 37 tahun 2004.
c.       Rehabilitasi, permohonan rehabilitasi dapat diajukan oleh debitur pailit atau ahli warisnya dengan dibuktikan bahwa kreditur telah menerima seluruh pembayaran piutangnya.
Akibat hukum secara umum yang terjadi yang disebabkan oleh putusan pailit adalah terhadap harta debitur akan dilakukan sitaan umum, perikatan debitur yang dibuat setelah putusan pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta pailit, dan  perbuatan hukum yang dilakukan debitor sebelum putusan pailit diucapkan dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan pada pasal 41 UU No 37 Tahun 2004.

Syarat Adanya Utang
            Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tidak membedakan syarat utang yang telah jatuh waktu dan utang telah ditagih tetapi belum jatuh waktu. Namun sebenarnya kedua istilah itu berbeda pengertian dan kejadiannya. Pada hal kredit perbankan, kedua hal tsb jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu adalah utang yang dengan terlampau waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditor berhak untuk menagihnya. Sedangkan utang yang belum jatuh waktu, dalam dunia perbankan utang tsb dapat ditagih karena ada events of default. Yakni klausul yang memberikan hak kepada bank untuk menyatakan nasabah cidera janji apabila salah satu peristiwa yang tercantum dalam events of default itu terjadi. Hal ini juga memberikan hak kepada bank untuk menghentikan penggunaan kredit lebih lanjut.
Contoh peristiwa yang dapat diperjanjikan di dalam events of default antara lain, apabila melanggar hal-hal berikut:
Selama kredit belum lunas, debitor dilarang tanpa seizin bank melakukan pembagian deviden, membuka kantor cabang, melakukan perubahan susunan anggota direksi dan komisaris; menjual asset bank.
Selama kredit belum lunas, debitor wajib melakukan:
a.       Setiap tahun selambat-lambatnya pada akhir bulan Maret pada tahun berikutnya menyampaikan laporan tahunan mengenai keadaan keuangan selama setahun yang lalu berupa neraca dan laporan laba/rugi yang telah diaudit oleh akuntan publik yang independen.
b.      Setiap enam bulan sekali menyampaikan laporan keuangan baik neraca maupun laba rugi yang tidak diaudit oleh akuntan publik.
Jadi, dapat dikatakan bahwa perbedaan antara pengertian “utang yang telah jatuh waktu” dengan “utang yang telah dapat ditagih” adalah, utang hanya dapat dikatakan jatuh waktu bila menurut perjanjian kredit telah sampai pada jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu. Sedangkan utang yang dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan percepatan waktu penagihannya maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Namun penjelasan ini tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan terkesan terlalu memaksakan.

Mekanisme Pengajuan Pailit
Berdasarkan pengertian-pengertian dasar mengenai kepailitan, berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Niaga dalam memutus permohonan pernyataan pailit:
a.       Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (2) UUK menentukan bahwa Pengadilan Niaga yang berwenang menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor;
b.      Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK, dalam hal Debitor adalah persero suatu firma, Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) tersebut mengemukakan bahwa dalam hal menyangkut putusan atas permohonan pernyataan pailit oleh lebih dari satu Pengadilan Niaga yang berwenang mengenai Debitor yang sama pada tanggal yang berbeda, maka putusan yang diucapkan pada tanggal yang lebih awal adalah yang berlaku. Selanjutnya penjelasan Pasal 2 ayat (3) tersebut menentukan pula bahwa dalam hal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan oleh Pengadilan Niaga yang berbeda pada tanggal yang sama mengenai Debitor yang sama, maka yang erlaku adalah putusan Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum Debitor;
c.       Bagaimana halnya apabila Debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia? Menurut Pasal 2 ayat (4) UUK, dalam hal Debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah Republik Indonesia, Pengadilan Niaga yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor Debitor yang menjalankan profesi atau usahanya itu;
d.      Bagaimana menentukan Pengadilan Niaga mana yang berwenang Debitor adalah suatu badan hukum, seperti perseroan terbatas, koperasi, dan yayasan? Menurut Pasal 2 ayat (5) UUK, dalam hal Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya PN yang sesuai dengan Anggaran Dasar badan hukum tersebut;
e.       Menurut Pasat 3 ayat (1) UUK, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor perorangan yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Mengenai ketentuan ini, penjelasan pasal tersebut mengemukakan, ketentuan ini hanya berlaku apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor. Persetujuan dari suami atau istri Debitor diperlukan, karena menyangkut harta bersama (terdapat percampuran harta). Sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 3 ayat (1) UUK, Pasal 3 ayat (2) UUK menentukan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada percampuran harta.
Permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 4 ayat (1) UUK, diajukan kepada pengadilan melalui panitera. Pasal 4 ayat (2) UUK menentukan, Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan.
Menurut Pasal 2 ayat (5) UUK, dalam konteks Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya. Dengan kata lain Pengadilan Niaga yang berwenang memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnva meliputi tempat kedudukan hukum dari badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan Anggaran Dasar badan hukum tersebut.
Menurut Pasat 3 ayat (1) UUK, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor perorangan yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Mengenai ketentuan ini, penjelasan pasal tersebut mengemukakan, ketentuan ini hanya berlaku apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor. Persetujuan dari suami atau istri Debitor diperlukan, karena menyangkut harta bersama (terdapat percampuran harta). Sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 3 ayat (1) UUK, Pasal 3 ayat (2) UUK menentukan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada percampuran harta.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 6 ayat (4), harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Mengingat kualitas Pengadilan Indonesia yang masih sangat menyedihkan pada saat ini, penulis meragukan jangka waktu tersebut akan atau dapat dipatuhi dengan baik. Menurut hemat penulis pula, jangka waktu 30 (tiga puluh) hari untuk memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit sangat pendek. Dikhawatirkan kualitas putusan yang diambil akan jauh dari adil dan memuaskan karena terpaksa dilakukan secara terburu-buru. Jangka waktu tersebut seyogianya lebih panjang. Paling sedikit 90 (sembilan puluh) hari.
Sehubungan dengan kemungkinan pengambilan putusan Pengadilan Niaga diambil melampaui tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, Mahkamah Agung RI dalam putusan mengenai permohonan Peninjauan Kembali No. 011PK/N/1999 dalam perkara PT Bank Yakin Makmur (PT Bank Yama) sebagai Pemohon PK/Pemohon Kasasi/Termohon Pailit melawan PT Nassau Sport Indonesia sebagai Termohon PK/Termohon Kasasi/Pemohon Pailit dalam pertimbangan hukumnya mengemukakan bahwa alasan permohonan Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, sebab meskipun putusan dijatuhkan melampaui tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, hal tersebut tidak membatalkan putusan.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (5) UUK. Selanjutnya Pasal 6 ayat (5) UUK menentukan bahwa putusan tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (putusan serta-merta atau uitvoerbaar bij voorraad).
Dalam jangka waktu paling lambat 2 x 24 jam terhitung sejak tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan, Pengadilan Niaga wajib menyampaikan dengan surat dinas tercatat atau melalui kurir kepada Debitor, kepada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, dan kepada Kurator serta Hakim Pengawas, salinan putusan Pengadilan Niaga yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut (Pasal 6 ayat (6) UUK).

Keputusan Pailit dan Akibat Hukumnya
Dalam pasal 21 kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepaillitan.
Namun, ketentuan sebagaimana dalam pasal 21 di atas tidak berlaku terhadap barang- barang sebagai berikut :
a.       Benda, termasuk hewan yang benar- benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat- alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh debitor dan keluarganya.
b.      Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa sebagai upah, pensiun, uang tunggu, atau uang tunjangan yang ditentukan oleh hakim pengawas.
c.       Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang – undang.
Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor.
Dalam pasal 55 setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lain dapat mengeksekusi haknya seolah – olah tidak terjadi kepailitan, sehingga kreditor pemegang hak sebagaimana disebutkan dapat melaksanakan haknya dan wajib memberikan pertanggungjawaban kepada curator tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan. Kemudian, menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah uang, bunga dan biaya kepada curator.

Akibat Hukum Kepailitan
Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 21 UU Kepailitan, tampaklah bahwa kepailitan berkaitan dengan harta benda debitor. Oleh karena itu, dengan dinyatakan pailit, maka :
a.       Debitor
Debitor akan kehilangan hak menguasai dan mengurus kekayaannya; Perikatan yang muncul setelah pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke boendel pailit; Tuntutan terhadap harta pailit diajukan ke dan/atau oleh kurator; Penyitaan menjadi hapus;
Bila debitor ditahan harus dilepas.
b.      Pemegang hak tertentu
Pemegang hak gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan lain dapat mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan; Pelaksanaan hak tsb harus dilapor ke kurator.

Pihak-Pihak yang Terkait Dalam Pengurusan Harta Pailit
Dalm hal penguasaan dan pengurusan harta pailit yang terlibat tidak hanya curator, tetapi masih terdapat pihak- pihak lain yang terlibat yaitu :
a.       Hakim pengawas berttugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit.
b.      Kurator bertugas melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit.
c.       Panitia kreditor dalam putusan pailit atau dengan penetapan, kemudian pengadilan dapat membentuk panitia kreditor yang telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi, dengan maksud memberikan nasihat kepada kurator.
            Kreditor yang diangkat dapat mewakilkan kepada orang lain terhadap semua pekerjaan yang berhubungan dengan tugas- tugasnya dalam panitia. Sementara itu, curator tidak terikat oleh pendapat panitia kreditor. Dalam rapat kreditor, hakim pengawas bertindak sebagai ketua, sedangkan curator wajib hadir dalam rapat kreditor. Rapat kreditor, seperti rapat verifikasi, rapat membicarakan akur, rapat luar biasa dan rapat pemberesan harta pailit.

Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan
a.       Debitor/Kreditor
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitor ingin mengajukan permohonan pailit, sesuai dengan syarat kreditor dan debitor yang dikemukakan di sub bab sebelumnya.
1.      Kejaksaan Demi Kepentingan Umum
Dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau masyarakat luas. Berikut adalah kriteria-kriteria persoalan tentang permohonan pailit demi kepentingan umum :
a)      Debitor melarikan diri;
b)      Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c)      Debitor mempunyai hutang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat luas;
d)     Debitor mempunyai hutang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;
e)      Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah hutang-piutang yang telah jatuh tempo; atau
f)       Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Perihal lebih lanjut mengenai permohonan pailit demi kepentingan umum, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2000 tentang Permohonan Pailit demi Kepentingan Umum.
2.      Bank Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (3) UUK disebutkan dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan “bank” adalah sebagaiman diatur dalam pasal perundang-undangan. Pengajuan permohonan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan perbankan secara keseluruhan oleh karena itu tidak dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia dalam mengajukan permohonan tidak terkait dengan ketentuan pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum dan likuidasi bank sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Melalui ketentuan tsb tampak bahwa undang-undang menyadari bahwa bank sebagai badan usaha mempunyai karakteristik tersendiri jika dibanding badan usaha lainnya.
Pengaturan tentang Bank Indonesia sendiri diatur dalam UU No. 23 tahun 1999 yang kemudian diubah melalui UU No. 3 tahun 2004. Dalam produk hukum ini, ditegaskan bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara independent dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam dalam undang-undang.Oleh karena itu, bank mempunyai wewenang untuk memberikan dan mencabut izin kelembagaan an kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 4 jo. Pasal 2 UU No. 3 tahun 2004). Dikaitkan dengan kepailitan, dalam UUK tidak dijelaskan kewenangan Bank Indonesia dalam kepailitan. Dalam UUK tidak dijelaskan dalam kapasitas apa Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pailit, sebagai otoritas perbankan atau bahkan sebagai kreditor.
3.      Badan Pengawas Pasar Modal
Dalam Pasal 2 ayat (4) UUK, disebutkan bahwa : “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal” Melalui pasalini, terlihat bahwa Badan Pengawas Pasar Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya wewenang Bank Indonesia terhadap bank.
Bahwa perlu disadari, kegiatan investasi di pasar modal rentan dengan isu informasi yang menyesatkan. Sebagaimana diketahui, transaksi efek di pasar modal mengandalkan analisis pasar yang dilakukan oleh para professional di bidang pasar modal. Oleh karena itu, jika setiap saat perusahaan yang bergerak di bidang Pasar Modal sewaktu-waktu akan dipailitkan akan menggoyahkan kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal. Jadi, menurut undang-undang ini, badan otoritas pasar modallah yang mengetahui seluk-beluk badan usaha yang bergerak di bidang pasar modal.
Oleh karena itu, jika perusahaan efek dinyatakan pailit hanya karena permintaan satu atau dua kreditor dapat mengganggu sistem yang berlaku di pasar modal secara keseluruha.
4.      Menteri Keuangan Republik Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (5) UUK, dikemukakan bahwa : “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”
Kewenangan pernyataan pailit bagi pihak asuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan, hal ini bertujuan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi, sebagai lembaga pengelola resiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang berkedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. Kewenangan untuk menyatakan pailit bagi dana pensiun sepenuhnya ada di tangan Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dana pensiun mengingat dana pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah banyak dan merupakan hak peserta yang banyak jumlahnya.

Tanggungjawab Hukum Bagi Pengurus Terhadap Perseroan yang Pailit
Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)
Pasal 97 ayat (1) UUPT mewajibkan setiap anggota direksi untuk wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk melakukan pengawasan perseroan untuk kepentingan dan usaha (tujuan perseroan). Sehingga Direksi bertanggung jawab atas pengurusan dan perwakilan terhadap perseroan dalam rangka untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Tanggung jawab direksi atas kepailitan PT dijelaskan dalam ketentuan pasal 104 UUPT, antara lain:
a.       Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
b.      Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
c.       Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangk waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
d.      Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila dapat membuktikan:
1.      Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
2.      Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
3.      Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
4.      Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan;
5.      Ketentuan tersebut berlaku juga bagi direksi dari perseroan yang dinyatakan pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.
Maka dapat diketahui bahwa berdasarkan pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) UUPT, setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan perseroan, jika kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan juga bagi anggota direksi yang salah/lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangka waktu lima tahun sebelum putusan pailit diucapkan.
Pada ayat (4) memberikan kesempatan kepada anggota direksi untuk tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan, jika anggota direksi dapat membuktikan. Dengan demikian beban pembuktian ada pada anggota direksi yang bersangkutan. Pembuktian adanya unsur kesalahan atau kelalain menjadi kunci utama dalam menuntut pertanggungjawaban anggota direksi. Menurut Schreuder, pengertian kesalahan menurut hukum pidana menuntut adanya 3 (tiga) unsur berupa:
a.       Kelakuan yang bersifat melawan hukum;
b.      Dolus (kesengajaan) atau culpa (kelalaian);
c.       Kemampuan bertanggung jawab pelaku.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa beliau sependapat dengan sikap pengadilan Amerika Serikat, bahwa seorang anggota direksi perseroan dalam menjalankan tugasnya hanya bertanggung jawab apabila kelalaian yang dilakukan adalah kelalaian berat (gross negligence). Meskipun demikian tidaklah mudah untuk membedakan mana perbuatan hukum direksi yang bersifat kelalaian ringan dan mana perbuatan direksi yang bersifat kelalaian berat, karena penilaian tersebut merupakan sesuatu yang bersifat subjektivitas.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap Direksi selaku pengurus perseroan terbatas antara lain:
a.       Melakukan penahanan terhadap direksi selaku pengurus perseroan terbatas (pasal 93 sampai dengan pasal 95 UU Kepailitan)
b.      Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat melakukan penahanan terhadap terhadap direksi selaku pengurus perseroan pailit baik di rumah tahanan negara (rutan) maupun di rumah Direksi tersebut, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Masa penahanan yang berlaku palin lama 30 hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh pengadilan atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau seorang kreditor lebih setelah mendengar hakim pengawas. Biaya penahanan dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit sebagai utang harta pailit.
c.       Pengadilan juga berwenang melepaskan direksi dari tahanan atas usul hakim pengawas atau atas permohonan direksi (mewakili debitur pailit), dengan jaminan uang dari pihak ketiga bahwa direksi (mewakili debitur pailit) setiap waktu akan menghadap atas panggilan pertama.
d.      Meminta kehadiran Direksi pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit (pasal 96 UU Kepailitan)
e.       Jika direksi yang ditahan, dalam hal diperlukan kehadiran kehadiran direksi pada sesuatu perbutaan yag berkaitan dengan harta pailit maka direksi dapat diambil dari tempat tahan tersebut atas perintah hakim pengawas. Perintah hakim pengawas tersebut dilaksanakan oleh kejaksaan.
f.       Direksi tidak boleh meninggalkan domisilinya (pasal 97 UU Kepailitan)
g.      Selama kepailitan, direksi selaku pengurus PT tidak boleh meninggalkan domisilinya tanpa izin dari hakim pengawas.
h.      Direksi wajib menghadap hakim pengawas, kurator atau panitian kreditor apabila dipanggil (pasal 110 ayat (1) UU Kepailitan)
i.        Direksi selaku pengurus perseroan wajib menghadap hakim pengawas, kurator/panitia kreditor apabila dipanggil untuk memberikan keterangan.
j.        Direksi wajib hadir dalam rapat pencocokan piutang (pasal 121 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan)
k.      Direksi selaku pengurus perseroan wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piuang agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Kreditor juga dapat meminta keterangan dari Direksi selaku pengurus PT mengenai hal-hal yang dikemukakan melalui hakim pengawas.

Tanggung Jawab Dewan Komisaris atas Kepailitan Perseroan Terbatas
Pasal 115 mengatur sejauh mana tanggung jawab anggota DK atas kepailitan Perseroan. Sekiranya Perseroan dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, baik hal itu terjadi atas permintaan sendiri oleh Direksi setelah mendapat persetujuan RUPS melalui proses voluntary petition maupun oleh pihak ketiga melalui proses involuntary petition.
a.       Faktor yang menyebabkan anggota Dewan Komisrais Bertanggung Jawab Atas Kepailitan Perseroan
Pasal 115 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa ikutnya anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab atas Kepailitan Perseroan, apabila terpenuhi persyaratan atau digantungkan pada faktor berikut:
§  Kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalian pengawasan yang dilakukan Dewan Komisaris
Syarat atau faktor pertama yang dapat menyeret anggota Dewan Komisaris selanjutnya disebut dengan DK ikut memikul tanggung jawab atas kepailitan terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaian DK melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada pengurusan yang dilaksanakan Direksi.
§  Harta kekayaan perseroan tidak mencukupi membayar seluruh kewajiban
Syarat kedua ternyata harta pailit perseroan “tidak mencukupi” membayar seluruh kewajiban Perseroan kepada para kreditor. Dalam hal demikian, setiap anggota DK ikut bertanggung jawab scara tanggung renteng untuk membayar kewajiban yang belum terlunasi dari harta kekayaan Perseroan. Tanggung jawab secara tanggung renteng yang dijelaskan diatas berlaku juga bagi anggota DK yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, asal terpenuhi syarat yang dijelaskan diatas.
b.      Faktor yang dapat menggugurkan tanggung jawab anggota Dewan Komisaris atas kepailitan Perseroan
Pasal 115 ayat (3) memberi kemungkinan kepada anggota DK membebaskan diri dari keikutsertaan bertanggungjawab pribadi dan solider atas kepailitan Perseroan. Syarat yang dapat membebaskannya digantungkan pada faktor kemampuan membuktikan hal-hal berikut ini:
1.      Kepalilitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
2.      Telah melakukan tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan
3.      Tidak mempunyai kepentingan pribadi, langsung/tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan kepailitan
4.      Telah memberikan nasihat ke direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan
Syarat pembebasan tanggung jawab pribadi ini bersifat “kumulatif” bukan bersifat “alternatif”. Oleh karena itu supaya dapat bebas dan lepas memikul tanggungjawab kepailitan itu, anggota DK yang bersangkutan harus mampu membuktikan hal- hal yang disebutkan pada 1 sampai dengan 4.

Kelemahan Hukum Kepailitan di Indonesia
Pengaturan hukum kepailitan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, ternyata masih terdapat beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan Undang-Undang Kepailitan kita dari hasil kajian saya dan beberapa pendapat pakar:
1.      Salah satu pembaharuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ialah menambah pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan terhadap instansi tertentu, salah satunya ialah permohonan pailit terhadap BUMN. Pasal 2 ayat 5 UU Kepailitan menyatakan bahwa dalam hal Debitur adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Namun, BUMN yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut tidak dapat kita tafsirkan semua BUMN yang ada di Indonesia. BUMN yang dimaksud hanyalah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik saja. Lalu, apa yang dimaksud dengan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik itu? pertanyaan tersebut dapat kita temukan jawabanya pada Penjelasan Pasal 2 ayat (5). Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (5) yang dimaksud dengan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan pubik ialah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham. Artinya untuk bisa disebut sebagai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik haruslah memenuhi dua syarat tersebut. Lalu, bagaimana dengan BUMN yang lain? apakah BUMN yang tidak memenuhi ciri-ciri tersebut dapat diajukan permohonan pernyataan pailit oleh selain Menteri Keuangan? Undang-Undang BUMN tidak memberikan penjelasan tentang itu. Di samping itu, penjelasan tersebut juga mengandung kelemahan. Kelemahan yang dimaksud adalah bila kita sinkronkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Pengertian BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik hampir sama dengan pengertian Perusahaan Umum (Perum). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 4 UU BUMN. Menurut Pasal 1 angka 4 UU BUMN Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Menurut M. Hadi Subhan, BUMN yang dimaksud dalam Undang-Undang Kepailitan adalah Perum, hal ini didasarkan pada UU BUMN tersebut, sehingga ia menyimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN dalam bentuk persero dapat dimohonkan pailit oleh selain Menteri Keuangan. Pendapat tersebut cukup beralasan, karena Undang-Undang Kepailitan memberikan definisi yang sama terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Namun, membicarakan Undang-Undang BUMN harus juga kita lihat Pasal 55 ayat (1). Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perum dapat diajukan oleh direksi, Menteri Keuangan hanyalah pihak yang memberikan persetujuan kepada direksi saja. Ini berarti Menteri Keuangan juga bukanlah satu-satunya pihak yang dapat memohonkan pailit terhadap Perum. Padahal UU Kepailitan menegasakan bahwa Menteri Keuangan adalah satu-satunya pihak yang dapat mengajukan pernyataan paiit terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Jadi, haruskah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik diartikan sebagai Perum?
2.      Masih berkaitan dengan point 1 di atas. Pendapat yang menyatakan bahwa BUMN yang dimaksud dalam UU Kepailitan adalah Perum tidaklah sepenuhnya salah. Karena memang definisi yang sama antara UU BUMN dan UU Kepailitan. Namun, pertanyaanya adalah jika dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) UU BUMN di atas yang menyatakan bahwa permohonan pailit terhadap Perum dapat diajukan oleh direksi, maka di sini ada dua hukum yang bertentangan, yaitu antara UU BUMN dan UU Kepailitan. Timbul pertanyaan di sini, manakah yang lebih lex specialis, UU BUMN atau UU Kepailitan?
3.      Terkait dengan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan yang mengatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap instansi-instansi tertentu. Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (5) juga, timbul pertanyaan baru yakni bagaimana jika debitor adalah sebuah BUMN dalam bentuk bank, maka siapakah yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadapnya? Menteri Keuangan ataukah bank Indonesia? Saya pernah menanyakan ini kepada M. Hadi Subhan, Doktor Hukum Kepailitan dari Unair. Beliau pada dasarnya tetap berpendapat bahwa BUMN yang harus diajukan kepailitannya oleh menkeu adalah BUMN yang berbentuk PERUM. sedangkan BUMN yang berbentuk persero berlaku seperti PT privat biasa dan tidak harus menteri keuangan yang mengajukan permohonan kepailitan.. hal ini juga dijelaskan dalam pasal 11 UU BUMN tersebut bahwa Terhadap BUMN Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UUPT. Bank-bank BUMN tidak ada yang berbentuk yang berbentuk BUMN perum tapi semua berbentuk BUMN persero, jadi bukan menteri keuangan yang berwenang mengajukan. dengan demikian yang berlaku adalah pasal 2 ayat 3, yakni yang berwenang mengajukan kepailitan bank BUMN adalah tetap BANK INDONESIA. Jadi menurut M Hadi Subhan, seandainya ada terdapat bank BUMN yang berbentuk perum pun, tetap yang berlaku adalah pasal 2 ayat 3 yang berwenang mengajukan adalah Bank Indonesia, hal ini karena kepailitan bank adalah ketentuan lex specialis.
4.      Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut (Munir Fuady, 1999 : 8-9) :
a.       Adanya utang;
b.      Minimal satu utang sudah jatuh tempo;
c.       Minimal satu utang dapat ditagih;
d.      Adanya debitor;
e.       Adanya kreditor;
f.       Kreditor lebih dari satu;
g.      Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”;
h.      Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;
i.        Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.
Bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat debitor untuk dapat dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim ”harus menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya. (Munir Fuady, 1999 : 9). Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4), bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Kita lihat lagi persyaratan di atas, ternyata tidak satu pun terdapat syarat keadaan keuangan yang tidak sehat pada debitor yang hendak dipailitkan. Dalam hukum kepailitan di Indonesia, tidak memperhatikan kesehatan keuangan dari debitor. jadi meskipun keuangan debitor itu solven tetap bisa dipailitkan sepanjang sudah memenuhi syarat adanya utang yang tidak dibayar lunas serta adanya dua kreditor atau lebih. Inilah salah satu kelemahan hukum kepailitan di Indonesia. Pembuktian sederhana hanya meliputi syarat adanya dua kreditor atau lebih serta minimal satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, artinya apabila syarat-syarat tersebut telah terbukti maka hakim harus mengabulkan permohonan pailit tanpa mempertimbangkan bagaimana kondisi keuangan debitor. Dengan demikian debitor dengan mudah dapat dinyatakan pailit. Undang-Undang Kepailitan pada Penjelasan Psal 2 ayat (1) juga menyatakan bahwa kreditor yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ialah ketiga golongan kreditor, yaitu krediotr separatis, kreditor preferens, dan kreditor konkuren. Dari kasus yang pernah terjadi, misalnya PT Dirgantara Indonesia dan Adam Air, permohonan pernyataan pailite terhadap perusahaan tersebut diajukan oleh golongan kreditor preferens. Golongan kreditor preferens, menurut Pasal 1149 KUHPerdata juga meliputi para buruh/ karyawan perusahaan. Artinya bila gaji karyawan yang menjadi haknya itu tidak segera dibayarkan dan mereka tidak bersabar maka, perusahaan berpotensi besar dapat dinyatakan pailit. Untuk memnuhi syarat pailit begitu mudahnya karena tidak meliputi keadaan keuangan debitor. Putusan kasasi Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pernyataan pailit, biasanya berkutat pada syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 2 saja. Walaupun Hakim beranggapan bahwa debitor dalam keadaan keuangan yang sehat sehingga tidak layak untuk dipailitkan, namun itu tidak bisa dijadikansebagai alasan untuk menolak permohonan pailit. Sekali lagi, dasar diterima atau ditolaknya permohonan pailit harus didasarkan pada syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Di Indonesia tidak dikenal adanya "insolvency test" terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pailit. Harusnya Undang-Undang Kepailitan juga memberikan pengaturan tentang kondisi keuangan debitor sebagai syarat untuk bisa dinyatakan pailit. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengandung asas kelangsungan usaha, dimana debitor yang masih prospektif dimungkinkan untuk melangsungkan usahanya. Untuk melihat prospektif debitor salah satunya dapat dilihat dari keadaan keuanganya. Namun, Undang-Undang Kepailitan sama sekali tidak menyinggung tentang kondisi keuangan debitor sebagai syarat dijatuhkanya putusan pailit. Lembaga kepailitan harusnya digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan utang-utang yang sudah tidak mampu lagi dibayar oleh debitor.
5.      Pasal 10 Undang-Undang Kepailitan memungkinkan diletakkannya sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan kreditor. Prosedur permintaan dan penetapan sita jaminan dalam kepailitan memang mengacu pada ketentuan pasal 10 Undang-Undang Kepailitan. Dalam prakteknya, pemohon pailit biasanya memang meminta kepada Pengadilan Niaga terhadap kekayaan Termohon pailit diletakkan sita jaminan. Namun dalam prakteknya pula, permintaan sita jaminan tersebut tidak pernah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Karena, pertama, acara pemeriksaan di Pengadilan Niaga berlangsung dengan acara sumir (sederhana) dan waktunya singkat (dalam 30 hari harus sudah ada putusan). Tanpa prosedur sita jaminan saja, proses persidangan dan pemeriksaan perkara kepailitan sudah sangat “mepet” timeline-nya. Kedua, hakekat dari pernyataan pailit sendiri adalah sitaan umum terhadap harta benda debitur yang ada sekarang maupun di masa yang akan datang. Oleh karena itu, tanpa meminta sita jaminan pun, apabila debitur dinyatakan pailit maka otomatis pernyataan tersebut merupakan sitaan umum dan tidak perlu lagi meminta sita jaminan ke pengadilan negeri. Jadi permohonan pailit yang disertai permintaan sita jaminan selama ini tidak pernah ada yang dikabulkan oleh Majelis Pengadilan Niaga karena mereka beranggapan seandainya nanti debitur dinyatakan pailit, maka otomatis seluruh harta benda debitur menjadi sitaan umum yang digunakan untuk melunasi utangnya kepada kreditur-krediturnya. Permohonan sita jaminan dalam proses kepailitan adalah sebelum putusan pailit di jatuhkan. Ratio legis (logika ketentuan) dari norma ini adalah agar dalam proses kepailitan sebelum putusan dijatuhkan harta yang dimiliki debitor pailit tidak dialihkan atau ditransaksikan, sehingga kemungkinan jika dialihkan atau ditransaksikan bisa merugikan kreditor nantinya. Memang ada instrumen hukum yang namanya actio pauliana dalam kepailitan, yakni suatu gugatan pembatalan atas transaksi yang dilakukan oleh debitor pailit yg merugikan kreditor. tapi instrumen actio pauliana ini jauh lebih rumit dan dalam praktik belum pernah ada gugatan actio pauliana yang dikabulkan hakim. Kalau di Amerika Serikat, disana berlaku ketentuan "automatic stay", yakni begitu debitor diajukan pailit maka secara otomatis semua harta debitor dalam keadaan stay (diam) tidak boleh ditransaksikan apapun. Jadi di Amerika tidak diperlukan adanya sita jaminan tersebut. Mengapa Undang-Undang kepailitan kita tidak memberlakukan juga ketentuan ”automatic stay” tersebut seperti di Amerika. Undang-Undang Kepailitan juga harus memberi kepastian tentang perlindungan terhadap para kreditor. Dengan pemberlakuan automatic stay tersebut sudah pasti debitor tidak dapat mengalihkan harta kekayaanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar