ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2004
TENTANG
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
BAB II
KEPAILITAN
Mata Kuliah Hukum Bisnis
Dosen Pengampu: Farid Hidayat, S.H., M.S.I.
Oleh: Riska Yanty (15830074)
PRODI KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015/2016
Prosedur Kepailitan
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang
yaitu pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu
berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang
diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004. Permohonan pengajuan pailit diajukan
kepada pengadilan melalui panitera. Pengajuan selain dapat dilakukan oleh
kreditur atau lembaga yang diberikan kewenangan yaitu debitur itu sendiri.
Debitur yang melakukan permohonan kepailitan pada Perseroan Terbatas harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Surat permohonan bermaterai ditujukan kepada ketua pengadilan niaga
b.
Akta pendafataran
perusahaan yang dilagalisir oleh kantor perdagangan
c.
Putusan sah Rapat umum
Pemegang Saham (RUPS)
d.
Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga
e.
Neraca keuangan
terakhir
f. Nama serta alamat debitur dan kreditur
Syarat yang harus dilakukan
oleh kreditur yang melakukan permohonan kepailitan adalah:
a. Surat permohonan yang bermaterai yang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan
Niaga
b.
Akta pendaftaran
perusahaan yang dilegalisir oleh ketua perdagangan
c.
Surat perjanjian utang
yang ditanda tangani kedua belah pihak
d.
Perincian utang yang
tidak terbayar
e.
Nama dan alamat
masing-masing kreditur/debitur
Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan
Syarat-syarat yang dapat mengajukan permohonan
kepailitan berdasarkan pasal 2 adalah sebagai berikut :
a. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
b.
Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit
dengan alasan untuk kepentingan umum
c.
Debitor adalah bank maka permohonan pernyataan
pailit bagi bank sepenuhnya
merupakan kewenangan bank Indonesia.
d.
Debitor adalah perusahaan efek, bursa efek,
lembaga kliring, dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan hanya dapat diajukan oleh BPPM
e. Debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension
atau BUMN.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, salah satu syarat yang harus
dipenuhi adalah debitor harus mempunyai 2 kreditor atau lebih. Apabila hanya
tedapat satu orang kreditor, maka eksistensi UUK-PKPU kehilangan raison
d’etre-nya. Dalam hal ini, kreditor diperbolehkan pengajuan pernyataan pailt.
Namun demikian persyaratan jumlah kreditor tidak diatur secara jelas dalam
UUK-PKPU. Dan pula mengenai ketidakadanya peraturan perundang-undangan yang
mewajibkan pendaftaran setiap utang yang diterima oleh setiap debitor pada
suatu badan khusus, membuat kreditor pemohon sulit mengetahui adanya
kreditor-kreditor lain dari debitor. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 299
UUK-PKPU, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitor
memiliki lebih dari satu kreditor dan beserta buktinya.
Kreditor yang dimaksud Pasal 2 ayat (1) adalah boleh sembarang
kreditor, tanpa mempertimbangkan apakah kreditor preferen ataupun kreditor
konkuren maupun kreditor separatis. Sehubungan dengan pasal ini, maka kreditor
pemegang hak jaminan tidak harus terlebih dahulu melepaskan hak jaminannya itu
apabila ingin mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitornya.
Panitera mendaftarkan
permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam jangka waktu paling
lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka
waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
Sidang pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling lambat 20
hari sejak permohonan di mana dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau
pencocokan utang antara debitur dengan kreditur. Dalam rapat verifikasi atau
pencocokan utang seorang debitor wajib datang sendiri agar dapat memberikan
keterangan yang diminta oleh hakim pengawasmengenai sebab kepailitan dan
keadaan harta pailit. Pada rapat pencocokan utang setelah semua pihak hadir
baik debitor, kurator, maupun kreditor, hakim pengawasakan membacakan daftar
piutang yang diakui sementara dan daftar yang dibantah oleh kurator.
Tahap putusan atas
permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau
keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua atau
lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar
sedangkan perbedaan besarnya utang didalihkan oleh permohonan pailit dan
termohon pailit tidak menghalangi jatuhnya putusan pailit. Putusan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan dimana berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya
murah, putusan tersebut wajib diajukan kepada jurusita.
Pada proses pengurusan
harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan kepengurusan yaitu:
a. Hakim pengawas yang melakukan pengawasan pada pengurusan dan pemberesan
harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37 Tahun 2004
b. Kurator, memiliki tugas melakukan pemberesan harta pailit
Dalam hal kepailitan
terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan, kasasi ke Mahkamah Agung,
dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan pailit yang mempunyai kekuatan hukum
tetap. Proses pengurusan kepailitan dianggap telah berakhir apabila telah
terjadi hal-hal seperti berikut:
a. Akur atau perdamaian, terjadi ketika terdapat perjanjian antara debitur
pailit dengan para kreditur di mana debitur menawarkan pembayaran sebagian dari
utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut
dibebaskan dari sisa utangnya.
b.
Insolvensi atas
pemberesan harta pailit, ketika terjadi insolvensi apabila kepailitan tidak
ditawarkan akur atau perdamaian atau tidak dipenuhinya suatu kesepakatan
sehingga terjadi keadaan tidak mampu membayar, sebagaimana diatur pada pasal
178 UU no 37 tahun 2004.
c. Rehabilitasi, permohonan rehabilitasi dapat diajukan oleh debitur pailit
atau ahli warisnya dengan dibuktikan bahwa kreditur telah menerima seluruh
pembayaran piutangnya.
Akibat hukum secara umum
yang terjadi yang disebabkan oleh putusan pailit adalah terhadap harta debitur
akan dilakukan sitaan umum, perikatan debitur yang dibuat setelah putusan
pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta pailit, dan perbuatan hukum yang dilakukan debitor
sebelum putusan pailit diucapkan dapat dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan
pada pasal 41 UU No 37 Tahun 2004.
Syarat Adanya Utang
Berdasarkan Pasal
2 ayat (1) UUK-PKPU tidak membedakan syarat utang yang telah jatuh waktu dan
utang telah ditagih tetapi belum jatuh waktu. Namun sebenarnya kedua istilah
itu berbeda pengertian dan kejadiannya. Pada hal kredit perbankan, kedua hal
tsb jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu adalah utang yang dengan
terlampau waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu
menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditor berhak untuk menagihnya.
Sedangkan utang yang belum jatuh waktu, dalam dunia perbankan utang tsb dapat
ditagih karena ada events of default. Yakni klausul yang memberikan hak kepada
bank untuk menyatakan nasabah cidera janji apabila salah satu peristiwa yang
tercantum dalam events of default itu terjadi. Hal ini juga memberikan hak
kepada bank untuk menghentikan penggunaan kredit lebih lanjut.
Contoh
peristiwa yang dapat diperjanjikan di dalam events of default antara lain, apabila
melanggar hal-hal berikut:
Selama kredit belum lunas, debitor dilarang tanpa seizin bank
melakukan pembagian deviden, membuka kantor cabang, melakukan perubahan susunan
anggota direksi dan komisaris; menjual asset bank.
Selama kredit belum lunas, debitor wajib melakukan:
a.
Setiap
tahun selambat-lambatnya pada akhir bulan Maret pada tahun berikutnya
menyampaikan laporan tahunan mengenai keadaan keuangan selama setahun yang lalu
berupa neraca dan laporan laba/rugi yang telah diaudit oleh akuntan publik yang
independen.
b.
Setiap
enam bulan sekali menyampaikan laporan keuangan baik neraca maupun laba rugi
yang tidak diaudit oleh akuntan publik.
Jadi, dapat
dikatakan bahwa perbedaan antara pengertian “utang yang telah jatuh waktu”
dengan “utang yang telah dapat ditagih” adalah, utang hanya dapat dikatakan
jatuh waktu bila menurut perjanjian kredit telah sampai pada jadwal waktunya
untuk dilunasi oleh debitor sebagaimana ditentukan dalam perjanjian itu. Sedangkan
utang yang dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh
waktu baik karena telah diperjanjikan percepatan waktu penagihannya maupun
karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Namun penjelasan
ini tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan terkesan terlalu memaksakan.
Mekanisme Pengajuan Pailit
Berdasarkan
pengertian-pengertian dasar mengenai kepailitan, berikut ini akan dikemukakan
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Niaga dalam
memutus permohonan pernyataan pailit:
a. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia,
Pasal 2 ayat (2) UUK menentukan bahwa Pengadilan Niaga yang berwenang
menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor;
b.
Sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK, dalam hal Debitor adalah persero suatu firma,
Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma
tersebut juga berwenang memutuskan. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) tersebut
mengemukakan bahwa dalam hal menyangkut putusan atas permohonan pernyataan
pailit oleh lebih dari satu Pengadilan Niaga yang berwenang mengenai Debitor
yang sama pada tanggal yang berbeda, maka putusan yang diucapkan pada tanggal
yang lebih awal adalah yang berlaku. Selanjutnya penjelasan Pasal 2 ayat (3)
tersebut menentukan pula bahwa dalam hal putusan atas permohonan pernyataan
pailit ditetapkan oleh Pengadilan Niaga yang berbeda pada tanggal yang sama
mengenai Debitor yang sama, maka yang erlaku adalah putusan Pengadilan Niaga
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum Debitor;
c.
Bagaimana
halnya apabila Debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik
Indonesia? Menurut Pasal 2 ayat (4) UUK, dalam hal Debitor tidak bertempat
kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau
usahanya dalam wilayah Republik Indonesia, Pengadilan Niaga yang berwenang
memutuskan adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan hukum kantor Debitor yang menjalankan profesi atau usahanya itu;
d.
Bagaimana
menentukan Pengadilan Niaga mana yang berwenang Debitor adalah suatu badan
hukum, seperti perseroan terbatas, koperasi, dan yayasan? Menurut Pasal 2 ayat
(5) UUK, dalam hal Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya
adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya PN yang sesuai dengan
Anggaran Dasar badan hukum tersebut;
e. Menurut Pasat 3 ayat (1) UUK, dalam hal permohonan pernyataan
pailit diajukan oleh Debitor perorangan yang menikah, permohonan hanya dapat
diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Mengenai ketentuan ini,
penjelasan pasal tersebut mengemukakan, ketentuan ini hanya berlaku apabila
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor. Persetujuan dari suami atau
istri Debitor diperlukan, karena menyangkut harta bersama (terdapat percampuran
harta). Sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 3 ayat (1) UUK, Pasal 3
ayat (2) UUK menentukan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku apabila tidak ada percampuran harta.
Permohonan
pernyataan pailit, menurut Pasal 4 ayat (1) UUK, diajukan kepada pengadilan
melalui panitera. Pasal 4 ayat (2) UUK menentukan, Panitera mendaftarkan
permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan
diajukan.
Menurut Pasal 2 ayat (5) UUK, dalam konteks Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya. Dengan kata lain Pengadilan Niaga yang berwenang memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnva meliputi tempat kedudukan hukum dari badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan Anggaran Dasar badan hukum tersebut.
Menurut Pasal 2 ayat (5) UUK, dalam konteks Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya. Dengan kata lain Pengadilan Niaga yang berwenang memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnva meliputi tempat kedudukan hukum dari badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan Anggaran Dasar badan hukum tersebut.
Menurut Pasat 3
ayat (1) UUK, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor
perorangan yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami
atau istrinya. Mengenai ketentuan ini, penjelasan pasal tersebut mengemukakan,
ketentuan ini hanya berlaku apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh
Debitor. Persetujuan dari suami atau istri Debitor diperlukan, karena
menyangkut harta bersama (terdapat percampuran harta). Sejalan dengan apa yang
dikemukakan dalam Pasal 3 ayat (1) UUK, Pasal 3 ayat (2) UUK menentukan, bahwa
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada
percampuran harta.
Putusan atas
permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 6 ayat (4), harus ditetapkan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Mengingat
kualitas Pengadilan Indonesia yang masih sangat menyedihkan pada saat ini,
penulis meragukan jangka waktu tersebut akan atau dapat dipatuhi dengan baik.
Menurut hemat penulis pula, jangka waktu 30 (tiga puluh) hari untuk memeriksa
dan memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit sangat pendek.
Dikhawatirkan kualitas putusan yang diambil akan jauh dari adil dan memuaskan
karena terpaksa dilakukan secara terburu-buru. Jangka waktu tersebut seyogianya
lebih panjang. Paling sedikit 90 (sembilan puluh) hari.
Sehubungan
dengan kemungkinan pengambilan putusan Pengadilan Niaga diambil melampaui
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, Mahkamah Agung RI dalam putusan mengenai
permohonan Peninjauan Kembali No. 011PK/N/1999 dalam perkara PT Bank Yakin
Makmur (PT Bank Yama) sebagai Pemohon PK/Pemohon Kasasi/Termohon Pailit melawan
PT Nassau Sport Indonesia sebagai Termohon PK/Termohon Kasasi/Pemohon Pailit
dalam pertimbangan hukumnya mengemukakan bahwa alasan permohonan Peninjauan Kembali
tidak dapat dibenarkan, sebab meskipun putusan dijatuhkan melampaui tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari, hal tersebut tidak membatalkan putusan.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (5) UUK. Selanjutnya Pasal 6 ayat (5) UUK menentukan bahwa putusan tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (putusan serta-merta atau uitvoerbaar bij voorraad).
Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (5) UUK. Selanjutnya Pasal 6 ayat (5) UUK menentukan bahwa putusan tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (putusan serta-merta atau uitvoerbaar bij voorraad).
Dalam jangka
waktu paling lambat 2 x 24 jam terhitung sejak tanggal putusan atas permohonan
pernyataan pailit ditetapkan, Pengadilan Niaga wajib menyampaikan dengan surat
dinas tercatat atau melalui kurir kepada Debitor, kepada pihak yang mengajukan
permohonan pernyataan pailit, dan kepada Kurator serta Hakim Pengawas, salinan
putusan Pengadilan Niaga yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang
mendasari putusan tersebut (Pasal 6 ayat (6) UUK).
Keputusan Pailit dan Akibat Hukumnya
Dalam pasal 21 kepailitan meliputi seluruh
kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala
sesuatu yang diperoleh selama kepaillitan.
Namun, ketentuan sebagaimana dalam pasal 21 di
atas tidak berlaku terhadap barang- barang sebagai berikut :
a. Benda, termasuk hewan yang benar- benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan
pekerjaannya, perlengkapannya, alat- alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan,
tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh debitor dan keluarganya.
b.
Segala sesuatu yang
diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu
jabatan atau jasa sebagai upah, pensiun, uang tunggu, atau uang tunjangan yang
ditentukan oleh hakim pengawas.
c. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang – undang.
Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan
pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai
sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu
putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor.
Dalam pasal 55 setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lain dapat mengeksekusi
haknya seolah – olah tidak terjadi kepailitan, sehingga kreditor pemegang hak
sebagaimana disebutkan dapat melaksanakan haknya dan wajib memberikan
pertanggungjawaban kepada curator tentang hasil penjualan benda yang menjadi
agunan. Kemudian, menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah uang,
bunga dan biaya kepada curator.
Akibat
Hukum Kepailitan
Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 21 UU Kepailitan, tampaklah
bahwa kepailitan berkaitan dengan harta benda debitor. Oleh karena itu, dengan
dinyatakan pailit, maka :
a.
Debitor
Debitor akan kehilangan hak menguasai dan mengurus kekayaannya; Perikatan yang muncul setelah pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke boendel pailit; Tuntutan terhadap harta pailit diajukan ke dan/atau oleh kurator; Penyitaan menjadi hapus;
Bila debitor ditahan harus dilepas.
Debitor akan kehilangan hak menguasai dan mengurus kekayaannya; Perikatan yang muncul setelah pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke boendel pailit; Tuntutan terhadap harta pailit diajukan ke dan/atau oleh kurator; Penyitaan menjadi hapus;
Bila debitor ditahan harus dilepas.
b.
Pemegang
hak tertentu
Pemegang
hak gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan lain dapat
mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan; Pelaksanaan hak tsb harus
dilapor ke kurator.
Pihak-Pihak yang Terkait Dalam Pengurusan Harta Pailit
Dalm hal penguasaan dan pengurusan harta pailit
yang terlibat tidak hanya curator, tetapi masih terdapat pihak- pihak lain yang
terlibat yaitu :
a. Hakim pengawas berttugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta
pailit.
b. Kurator bertugas melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit.
c. Panitia kreditor dalam putusan pailit atau dengan penetapan, kemudian
pengadilan dapat membentuk panitia kreditor yang telah
mendaftarkan diri untuk diverifikasi, dengan maksud memberikan nasihat kepada kurator.
Kreditor
yang diangkat dapat mewakilkan kepada orang lain terhadap semua pekerjaan yang
berhubungan dengan tugas- tugasnya dalam panitia. Sementara itu, curator tidak
terikat oleh pendapat panitia kreditor. Dalam rapat kreditor, hakim pengawas
bertindak sebagai ketua, sedangkan curator wajib hadir dalam rapat kreditor.
Rapat kreditor, seperti rapat verifikasi, rapat membicarakan akur, rapat luar
biasa dan rapat pemberesan harta pailit.
Pihak
yang Dapat Mengajukan Kepailitan
a.
Debitor/Kreditor
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitor ingin mengajukan permohonan pailit, sesuai dengan syarat kreditor dan debitor yang dikemukakan di sub bab sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitor ingin mengajukan permohonan pailit, sesuai dengan syarat kreditor dan debitor yang dikemukakan di sub bab sebelumnya.
1.
Kejaksaan
Demi Kepentingan Umum
Dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan,
yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara
dan/atau masyarakat luas. Berikut adalah kriteria-kriteria persoalan tentang
permohonan pailit demi kepentingan umum :
a)
Debitor
melarikan diri;
b)
Debitor
menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c)
Debitor
mempunyai hutang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat luas;
d)
Debitor
mempunyai hutang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;
e)
Debitor
tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah
hutang-piutang yang telah jatuh tempo; atau
f)
Dalam
hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Perihal lebih lanjut mengenai permohonan pailit demi kepentingan umum, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2000 tentang Permohonan Pailit demi Kepentingan Umum.
Perihal lebih lanjut mengenai permohonan pailit demi kepentingan umum, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2000 tentang Permohonan Pailit demi Kepentingan Umum.
2.
Bank
Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (3) UUK
disebutkan dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini yang
dimaksud dengan “bank” adalah sebagaiman diatur dalam pasal perundang-undangan.
Pengajuan permohonan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank
Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan
perbankan secara keseluruhan oleh karena itu tidak dipertanggungjawabkan. Kewenangan
Bank Indonesia dalam mengajukan permohonan tidak terkait dengan ketentuan
pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum dan likuidasi bank sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Melalui ketentuan tsb tampak bahwa
undang-undang menyadari bahwa bank sebagai badan usaha mempunyai karakteristik
tersendiri jika dibanding badan usaha lainnya.
Pengaturan tentang Bank Indonesia sendiri diatur dalam UU No. 23 tahun 1999 yang kemudian diubah melalui UU No. 3 tahun 2004. Dalam produk hukum ini, ditegaskan bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara independent dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam dalam undang-undang.Oleh karena itu, bank mempunyai wewenang untuk memberikan dan mencabut izin kelembagaan an kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 4 jo. Pasal 2 UU No. 3 tahun 2004). Dikaitkan dengan kepailitan, dalam UUK tidak dijelaskan kewenangan Bank Indonesia dalam kepailitan. Dalam UUK tidak dijelaskan dalam kapasitas apa Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pailit, sebagai otoritas perbankan atau bahkan sebagai kreditor.
Pengaturan tentang Bank Indonesia sendiri diatur dalam UU No. 23 tahun 1999 yang kemudian diubah melalui UU No. 3 tahun 2004. Dalam produk hukum ini, ditegaskan bahwa Bank Indonesia sebagai lembaga negara independent dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam dalam undang-undang.Oleh karena itu, bank mempunyai wewenang untuk memberikan dan mencabut izin kelembagaan an kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 4 jo. Pasal 2 UU No. 3 tahun 2004). Dikaitkan dengan kepailitan, dalam UUK tidak dijelaskan kewenangan Bank Indonesia dalam kepailitan. Dalam UUK tidak dijelaskan dalam kapasitas apa Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan pailit, sebagai otoritas perbankan atau bahkan sebagai kreditor.
3.
Badan
Pengawas Pasar Modal
Dalam Pasal 2 ayat (4) UUK,
disebutkan bahwa : “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal” Melalui pasalini, terlihat bahwa Badan Pengawas Pasar Modal juga
mempunyai kewenangan penuh dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk
instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya wewenang
Bank Indonesia terhadap bank.
Bahwa perlu disadari, kegiatan investasi di pasar modal rentan dengan isu informasi yang menyesatkan. Sebagaimana diketahui, transaksi efek di pasar modal mengandalkan analisis pasar yang dilakukan oleh para professional di bidang pasar modal. Oleh karena itu, jika setiap saat perusahaan yang bergerak di bidang Pasar Modal sewaktu-waktu akan dipailitkan akan menggoyahkan kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal. Jadi, menurut undang-undang ini, badan otoritas pasar modallah yang mengetahui seluk-beluk badan usaha yang bergerak di bidang pasar modal.
Oleh karena itu, jika perusahaan efek dinyatakan pailit hanya karena permintaan satu atau dua kreditor dapat mengganggu sistem yang berlaku di pasar modal secara keseluruha.
Bahwa perlu disadari, kegiatan investasi di pasar modal rentan dengan isu informasi yang menyesatkan. Sebagaimana diketahui, transaksi efek di pasar modal mengandalkan analisis pasar yang dilakukan oleh para professional di bidang pasar modal. Oleh karena itu, jika setiap saat perusahaan yang bergerak di bidang Pasar Modal sewaktu-waktu akan dipailitkan akan menggoyahkan kepercayaan masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal. Jadi, menurut undang-undang ini, badan otoritas pasar modallah yang mengetahui seluk-beluk badan usaha yang bergerak di bidang pasar modal.
Oleh karena itu, jika perusahaan efek dinyatakan pailit hanya karena permintaan satu atau dua kreditor dapat mengganggu sistem yang berlaku di pasar modal secara keseluruha.
4.
Menteri
Keuangan Republik Indonesia
Dalam Pasal 2 ayat (5) UUK,
dikemukakan bahwa : “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Menteri Keuangan.”
Kewenangan pernyataan pailit bagi pihak asuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan, hal ini bertujuan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi, sebagai lembaga pengelola resiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang berkedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. Kewenangan untuk menyatakan pailit bagi dana pensiun sepenuhnya ada di tangan Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dana pensiun mengingat dana pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah banyak dan merupakan hak peserta yang banyak jumlahnya.
Kewenangan pernyataan pailit bagi pihak asuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan, hal ini bertujuan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi, sebagai lembaga pengelola resiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang berkedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. Kewenangan untuk menyatakan pailit bagi dana pensiun sepenuhnya ada di tangan Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dana pensiun mengingat dana pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah banyak dan merupakan hak peserta yang banyak jumlahnya.
Tanggungjawab Hukum
Bagi Pengurus Terhadap Perseroan yang Pailit
Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)
Pasal 97 ayat (1) UUPT mewajibkan setiap anggota direksi untuk wajib dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk melakukan pengawasan perseroan untuk
kepentingan dan usaha (tujuan perseroan). Sehingga Direksi bertanggung jawab
atas pengurusan dan perwakilan terhadap perseroan dalam rangka untuk
kepentingan dan tujuan perseroan. Tanggung jawab direksi atas kepailitan PT
dijelaskan dalam ketentuan pasal 104 UUPT, antara lain:
a. Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri
kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
b. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan
harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam
kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
c. Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota direksi yang salah atau
lalai yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangk waktu 5 (lima)
tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
d. Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila
dapat membuktikan:
1. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan;
3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan;
5. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi direksi dari perseroan yang dinyatakan
pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.
Maka dapat diketahui
bahwa berdasarkan pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) UUPT, setiap anggota direksi
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan perseroan, jika
kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian anggota
direksi dan juga bagi anggota direksi yang salah/lalai yang pernah menjabat
sebagai anggota direksi dalam jangka waktu lima tahun sebelum putusan pailit
diucapkan.
Pada ayat (4)
memberikan kesempatan kepada anggota direksi untuk tidak bertanggung jawab atas
kepailitan perseroan, jika anggota direksi dapat membuktikan. Dengan demikian
beban pembuktian ada pada anggota direksi yang bersangkutan. Pembuktian adanya
unsur kesalahan atau kelalain menjadi kunci utama dalam menuntut
pertanggungjawaban anggota direksi. Menurut Schreuder, pengertian kesalahan
menurut hukum pidana menuntut adanya 3 (tiga) unsur berupa:
a. Kelakuan yang bersifat melawan hukum;
b.
Dolus (kesengajaan) atau culpa (kelalaian);
c. Kemampuan bertanggung jawab pelaku.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa beliau sependapat dengan sikap
pengadilan Amerika Serikat, bahwa seorang anggota direksi perseroan dalam
menjalankan tugasnya hanya bertanggung jawab apabila kelalaian yang dilakukan
adalah kelalaian berat (gross negligence).
Meskipun demikian tidaklah mudah untuk membedakan mana perbuatan hukum direksi
yang bersifat kelalaian ringan dan mana perbuatan direksi yang bersifat
kelalaian berat, karena penilaian tersebut merupakan sesuatu yang bersifat
subjektivitas.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap Direksi selaku pengurus
perseroan terbatas antara lain:
a. Melakukan penahanan terhadap direksi selaku pengurus perseroan terbatas
(pasal 93 sampai dengan pasal 95 UU Kepailitan)
b.
Pengadilan dengan
putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim
pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih
dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat melakukan penahanan terhadap
terhadap direksi selaku pengurus perseroan pailit baik di rumah tahanan negara
(rutan) maupun di rumah Direksi tersebut, dibawah pengawasan jaksa yang
ditunjuk oleh hakim pengawas. Masa penahanan yang berlaku palin lama 30 hari
terhitung sejak penahanan dilaksanakan dan dapat diperpanjang selama 30 hari
oleh pengadilan atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau
seorang kreditor lebih setelah mendengar hakim pengawas. Biaya penahanan
dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit sebagai utang harta
pailit.
c.
Pengadilan juga
berwenang melepaskan direksi dari tahanan atas usul hakim pengawas atau atas
permohonan direksi (mewakili debitur pailit), dengan jaminan uang dari pihak
ketiga bahwa direksi (mewakili debitur pailit) setiap waktu akan menghadap atas
panggilan pertama.
d.
Meminta kehadiran
Direksi pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan harta pailit (pasal 96 UU
Kepailitan)
e.
Jika direksi yang
ditahan, dalam hal diperlukan kehadiran kehadiran direksi pada sesuatu
perbutaan yag berkaitan dengan harta pailit maka direksi dapat diambil dari
tempat tahan tersebut atas perintah hakim pengawas. Perintah hakim pengawas
tersebut dilaksanakan oleh kejaksaan.
f.
Direksi tidak boleh
meninggalkan domisilinya (pasal 97 UU Kepailitan)
g.
Selama kepailitan,
direksi selaku pengurus PT tidak boleh meninggalkan domisilinya tanpa izin dari
hakim pengawas.
h.
Direksi wajib menghadap
hakim pengawas, kurator atau panitian kreditor apabila dipanggil (pasal 110
ayat (1) UU Kepailitan)
i.
Direksi selaku pengurus
perseroan wajib menghadap hakim pengawas, kurator/panitia kreditor apabila
dipanggil untuk memberikan keterangan.
j.
Direksi wajib hadir
dalam rapat pencocokan piutang (pasal 121 ayat (1) dan (2) UU Kepailitan)
k. Direksi selaku pengurus perseroan wajib hadir sendiri dalam rapat
pencocokan piuang agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim
pengawas mengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Kreditor juga
dapat meminta keterangan dari Direksi selaku pengurus PT mengenai hal-hal yang
dikemukakan melalui hakim pengawas.
Tanggung Jawab Dewan Komisaris atas Kepailitan Perseroan Terbatas
Pasal 115 mengatur sejauh mana tanggung jawab anggota DK atas kepailitan
Perseroan. Sekiranya Perseroan dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, baik
hal itu terjadi atas permintaan sendiri oleh Direksi setelah mendapat
persetujuan RUPS melalui proses voluntary petition maupun oleh pihak ketiga
melalui proses involuntary petition.
a. Faktor yang menyebabkan anggota Dewan Komisrais
Bertanggung Jawab Atas Kepailitan Perseroan
Pasal 115 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan
bahwa ikutnya anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab atas Kepailitan
Perseroan, apabila terpenuhi persyaratan atau digantungkan pada faktor berikut:
§ Kepailitan terjadi
karena kesalahan atau kelalian pengawasan yang dilakukan Dewan Komisaris
Syarat atau faktor pertama yang dapat menyeret anggota Dewan Komisaris
selanjutnya disebut dengan DK ikut memikul tanggung jawab atas kepailitan
terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaian DK melaksanakan tugas
pengawasan dan pemberian nasihat kepada pengurusan yang dilaksanakan Direksi.
§ Harta kekayaan
perseroan tidak mencukupi membayar seluruh kewajiban
Syarat kedua ternyata harta pailit perseroan “tidak mencukupi” membayar
seluruh kewajiban Perseroan kepada para kreditor. Dalam hal demikian, setiap
anggota DK ikut bertanggung jawab scara tanggung renteng untuk membayar
kewajiban yang belum terlunasi dari harta kekayaan Perseroan. Tanggung jawab
secara tanggung renteng yang dijelaskan diatas berlaku juga bagi anggota DK
yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan, asal terpenuhi syarat yang dijelaskan diatas.
b. Faktor yang dapat menggugurkan tanggung jawab
anggota Dewan Komisaris atas kepailitan Perseroan
Pasal 115 ayat (3) memberi kemungkinan kepada anggota DK membebaskan diri
dari keikutsertaan bertanggungjawab pribadi dan solider atas kepailitan
Perseroan. Syarat yang dapat membebaskannya digantungkan pada faktor kemampuan
membuktikan hal-hal berikut ini:
1. Kepalilitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
2. Telah melakukan tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan Perseroan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan
3. Tidak mempunyai kepentingan pribadi, langsung/tidak langsung atas tindakan
pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan kepailitan
4. Telah memberikan nasihat ke direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan
Syarat pembebasan tanggung jawab pribadi ini bersifat “kumulatif” bukan bersifat
“alternatif”. Oleh karena itu supaya dapat bebas dan lepas memikul
tanggungjawab kepailitan itu, anggota DK yang bersangkutan harus mampu
membuktikan hal- hal yang disebutkan pada 1 sampai dengan 4.
Kelemahan Hukum
Kepailitan di Indonesia
Pengaturan hukum
kepailitan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, ternyata masih terdapat
beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan Undang-Undang Kepailitan kita dari hasil
kajian saya dan beberapa pendapat pakar:
1. Salah satu pembaharuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ialah
menambah pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan terhadap instansi
tertentu, salah satunya ialah permohonan pailit terhadap BUMN. Pasal 2 ayat 5
UU Kepailitan menyatakan bahwa dalam hal Debitur adalah Badan Usaha Milik
Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan
pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Namun, BUMN yang dimaksud
dalam Undang-Undang tersebut tidak dapat kita tafsirkan semua BUMN yang ada di
Indonesia. BUMN yang dimaksud hanyalah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan
publik saja. Lalu, apa yang dimaksud dengan BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik itu? pertanyaan tersebut dapat kita temukan jawabanya pada
Penjelasan Pasal 2 ayat (5). Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (5) yang
dimaksud dengan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan pubik ialah badan
usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas
saham. Artinya untuk bisa disebut sebagai BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik haruslah memenuhi dua syarat tersebut. Lalu, bagaimana
dengan BUMN yang lain? apakah BUMN yang tidak memenuhi ciri-ciri tersebut dapat
diajukan permohonan pernyataan pailit oleh selain Menteri Keuangan? Undang-Undang
BUMN tidak memberikan penjelasan tentang itu. Di samping itu, penjelasan
tersebut juga mengandung kelemahan. Kelemahan yang dimaksud adalah bila kita
sinkronkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Pengertian
BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik hampir sama dengan pengertian
Perusahaan Umum (Perum). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 4 UU BUMN.
Menurut Pasal 1 angka 4 UU BUMN Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya
dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan
umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus
mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Menurut M. Hadi
Subhan, BUMN yang dimaksud dalam Undang-Undang Kepailitan adalah Perum, hal ini
didasarkan pada UU BUMN tersebut, sehingga ia menyimpulkan bahwa permohonan
pernyataan pailit terhadap BUMN dalam bentuk persero dapat dimohonkan pailit
oleh selain Menteri Keuangan. Pendapat tersebut cukup beralasan, karena
Undang-Undang Kepailitan memberikan definisi yang sama terhadap BUMN yang
bergerak di bidang kepentingan publik. Namun, membicarakan Undang-Undang BUMN
harus juga kita lihat Pasal 55 ayat (1). Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa
permohonan pernyataan pailit terhadap Perum dapat diajukan oleh direksi,
Menteri Keuangan hanyalah pihak yang memberikan persetujuan kepada direksi
saja. Ini berarti Menteri Keuangan juga bukanlah satu-satunya pihak yang dapat
memohonkan pailit terhadap Perum. Padahal UU Kepailitan menegasakan bahwa
Menteri Keuangan adalah satu-satunya pihak yang dapat mengajukan pernyataan
paiit terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Jadi, haruskah
BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik diartikan sebagai Perum?
2. Masih berkaitan dengan point 1 di atas. Pendapat yang menyatakan bahwa BUMN
yang dimaksud dalam UU Kepailitan adalah Perum tidaklah sepenuhnya salah.
Karena memang definisi yang sama antara UU BUMN dan UU Kepailitan. Namun,
pertanyaanya adalah jika dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) UU BUMN di atas
yang menyatakan bahwa permohonan pailit terhadap Perum dapat diajukan oleh
direksi, maka di sini ada dua hukum yang bertentangan, yaitu antara UU BUMN dan
UU Kepailitan. Timbul pertanyaan di sini, manakah yang lebih lex specialis, UU
BUMN atau UU Kepailitan?
3. Terkait dengan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan yang mengatur tentang
pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap instansi-instansi
tertentu. Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa Dalam hal Debitor adalah bank,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
Dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (5) juga, timbul pertanyaan baru yakni bagaimana
jika debitor adalah sebuah BUMN dalam bentuk bank, maka siapakah yang berhak
mengajukan permohonan pailit terhadapnya? Menteri Keuangan ataukah bank
Indonesia? Saya pernah menanyakan ini kepada M. Hadi Subhan, Doktor Hukum
Kepailitan dari Unair. Beliau pada dasarnya tetap berpendapat bahwa BUMN yang
harus diajukan kepailitannya oleh menkeu adalah BUMN yang berbentuk PERUM.
sedangkan BUMN yang berbentuk persero berlaku seperti PT privat biasa dan tidak
harus menteri keuangan yang mengajukan permohonan kepailitan.. hal ini juga
dijelaskan dalam pasal 11 UU BUMN tersebut bahwa Terhadap BUMN Persero berlaku
segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas
sebagaimana diatur dalam UUPT. Bank-bank BUMN tidak ada yang berbentuk yang
berbentuk BUMN perum tapi semua berbentuk BUMN persero, jadi bukan menteri
keuangan yang berwenang mengajukan. dengan demikian yang berlaku adalah pasal 2
ayat 3, yakni yang berwenang mengajukan kepailitan bank BUMN adalah tetap BANK
INDONESIA. Jadi menurut M Hadi Subhan, seandainya ada terdapat bank BUMN yang
berbentuk perum pun, tetap yang berlaku adalah pasal 2 ayat 3 yang berwenang
mengajukan adalah Bank Indonesia, hal ini karena kepailitan bank adalah
ketentuan lex specialis.
4. Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa debitor yang
mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka
syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah
sebagai berikut (Munir Fuady, 1999 : 8-9) :
a. Adanya utang;
b. Minimal satu utang sudah jatuh tempo;
c. Minimal satu utang dapat ditagih;
d. Adanya debitor;
e. Adanya kreditor;
f. Kreditor lebih dari satu;
g. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan
“Pengadilan Niaga”;
h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;
i.
Syarat-syarat yuridis
lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.
Bunyi Pasal 2 ayat (1)
tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat debitor untuk dapat
dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas. Apabila syarat-syarat
terpenuhi, hakim ”harus menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”,
sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan
“judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya. (Munir Fuady, 1999 : 9).
Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4), bahwa
permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan
yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Kita lihat lagi
persyaratan di atas, ternyata tidak satu pun terdapat syarat keadaan keuangan
yang tidak sehat pada debitor yang hendak dipailitkan. Dalam hukum kepailitan
di Indonesia, tidak memperhatikan kesehatan keuangan dari debitor. jadi
meskipun keuangan debitor itu solven tetap bisa dipailitkan sepanjang sudah
memenuhi syarat adanya utang yang tidak dibayar lunas serta adanya dua kreditor
atau lebih. Inilah salah satu kelemahan hukum kepailitan di Indonesia.
Pembuktian sederhana hanya meliputi syarat adanya dua kreditor atau lebih serta
minimal satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, artinya apabila syarat-syarat
tersebut telah terbukti maka hakim harus mengabulkan permohonan pailit tanpa
mempertimbangkan bagaimana kondisi keuangan debitor. Dengan demikian debitor
dengan mudah dapat dinyatakan pailit. Undang-Undang Kepailitan pada Penjelasan
Psal 2 ayat (1) juga menyatakan bahwa kreditor yang dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit ialah ketiga golongan kreditor, yaitu krediotr separatis,
kreditor preferens, dan kreditor konkuren. Dari kasus yang pernah terjadi,
misalnya PT Dirgantara Indonesia dan Adam Air, permohonan pernyataan pailite
terhadap perusahaan tersebut diajukan oleh golongan kreditor preferens.
Golongan kreditor preferens, menurut Pasal 1149 KUHPerdata juga meliputi para
buruh/ karyawan perusahaan. Artinya bila gaji karyawan yang menjadi haknya itu
tidak segera dibayarkan dan mereka tidak bersabar maka, perusahaan berpotensi
besar dapat dinyatakan pailit. Untuk memnuhi syarat pailit begitu mudahnya
karena tidak meliputi keadaan keuangan debitor. Putusan kasasi Mahkamah Agung
yang membatalkan putusan pernyataan pailit, biasanya berkutat pada
syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 2 saja. Walaupun Hakim beranggapan bahwa
debitor dalam keadaan keuangan yang sehat sehingga tidak layak untuk
dipailitkan, namun itu tidak bisa dijadikansebagai alasan untuk menolak
permohonan pailit. Sekali lagi, dasar diterima atau ditolaknya permohonan
pailit harus didasarkan pada syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Di Indonesia tidak dikenal adanya
"insolvency test" terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pailit.
Harusnya Undang-Undang Kepailitan juga memberikan pengaturan tentang kondisi
keuangan debitor sebagai syarat untuk bisa dinyatakan pailit. Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 mengandung asas kelangsungan usaha, dimana debitor yang
masih prospektif dimungkinkan untuk melangsungkan usahanya. Untuk melihat
prospektif debitor salah satunya dapat dilihat dari keadaan keuanganya. Namun,
Undang-Undang Kepailitan sama sekali tidak menyinggung tentang kondisi keuangan
debitor sebagai syarat dijatuhkanya putusan pailit. Lembaga kepailitan harusnya
digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan
utang-utang yang sudah tidak mampu lagi dibayar oleh debitor.
5. Pasal 10 Undang-Undang Kepailitan memungkinkan diletakkannya sita jaminan
terhadap sebagian atau seluruh kekayaan kreditor. Prosedur permintaan dan
penetapan sita jaminan dalam kepailitan memang mengacu pada ketentuan pasal 10
Undang-Undang Kepailitan. Dalam prakteknya, pemohon pailit biasanya memang meminta
kepada Pengadilan Niaga terhadap kekayaan Termohon pailit diletakkan sita
jaminan. Namun dalam prakteknya pula, permintaan sita jaminan tersebut tidak
pernah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Karena, pertama, acara pemeriksaan di
Pengadilan Niaga berlangsung dengan acara sumir (sederhana) dan waktunya
singkat (dalam 30 hari harus sudah ada putusan). Tanpa prosedur sita jaminan
saja, proses persidangan dan pemeriksaan perkara kepailitan sudah sangat
“mepet” timeline-nya. Kedua, hakekat dari pernyataan pailit sendiri adalah
sitaan umum terhadap harta benda debitur yang ada sekarang maupun di masa yang
akan datang. Oleh karena itu, tanpa meminta sita jaminan pun, apabila debitur
dinyatakan pailit maka otomatis pernyataan tersebut merupakan sitaan umum dan tidak
perlu lagi meminta sita jaminan ke pengadilan negeri. Jadi permohonan pailit
yang disertai permintaan sita jaminan selama ini tidak pernah ada yang
dikabulkan oleh Majelis Pengadilan Niaga karena mereka beranggapan seandainya
nanti debitur dinyatakan pailit, maka otomatis seluruh harta benda debitur
menjadi sitaan umum yang digunakan untuk melunasi utangnya kepada
kreditur-krediturnya. Permohonan sita jaminan dalam proses kepailitan adalah
sebelum putusan pailit di jatuhkan. Ratio legis (logika ketentuan) dari norma
ini adalah agar dalam proses kepailitan sebelum putusan dijatuhkan harta yang
dimiliki debitor pailit tidak dialihkan atau ditransaksikan, sehingga
kemungkinan jika dialihkan atau ditransaksikan bisa merugikan kreditor
nantinya. Memang ada instrumen hukum yang namanya actio pauliana dalam
kepailitan, yakni suatu gugatan pembatalan atas transaksi yang dilakukan oleh
debitor pailit yg merugikan kreditor. tapi instrumen actio pauliana ini jauh
lebih rumit dan dalam praktik belum pernah ada gugatan actio pauliana yang
dikabulkan hakim. Kalau di Amerika Serikat, disana berlaku ketentuan
"automatic stay", yakni begitu debitor diajukan pailit maka secara
otomatis semua harta debitor dalam keadaan stay (diam) tidak boleh
ditransaksikan apapun. Jadi di Amerika tidak diperlukan adanya sita jaminan
tersebut. Mengapa Undang-Undang kepailitan kita tidak memberlakukan juga
ketentuan ”automatic stay” tersebut seperti di Amerika. Undang-Undang
Kepailitan juga harus memberi kepastian tentang perlindungan terhadap para
kreditor. Dengan pemberlakuan automatic stay tersebut sudah pasti debitor tidak
dapat mengalihkan harta kekayaanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar