RESUME
MANAJEMEN
OLEH:
RISKA YANTY (15830074)
PROGRAM STUDI KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
PENGERTIAN
a.
Stephen
P. Robbins dan Mary Coulter ► Sebuah pendekatan manajemen yang menyatakan bahwa
setiap organisasi bersifat unik, menghadapi situasi-situasi yang berlainan
(contingencies), dan membutuhkan cara pengelolaan yang berbeda-beda.
b.
Ricky
W. Griffin ► Menyatakan bahwa perilaku manajerial yang sesuai dalam suatu
situasi tertentu bergantung pada, atau kontingen terhadap, elemen unik dari
situasi tersebut.
c.
Richard
L. Daft ► Perluasan dari perspektif humanistik yang memandang keberhasilan
penyelesaian masalah-masalah organisasi bergantung kepada pengenalan manajer
akan variasi-variasi penting dari situasi yang dihadapi.
Keyakinan
dasar pendekatan kontingensi adalah perilaku pemimpin yang efektif pada situasi
tertentu belum tentu efektif dalam situasi lainnya.
TEORI AWAL KEPEMIMPINAN KONTINGENSI
a.
Model Kontingensi LPC
Teori Least Preferred Co-worker (LPC) (Fiedler,
1964, 1967) menjelaskan bagaimana situasi menengahi hubungan antara
efekttivitas kepemimpinan dengan ukuran ciri yang disebut LPC Score (nilai
rekan kerja yang paling tidak disukai).
Kajian Fred Fiedler pertengahan tahun 1975
(dalam Bangun dan Anggoro, 2012) telah menjadi suatu teori yang memberikan
kontribusi penting terhadap keilmuan manajemen dan kepemimpinan melalui
kesimpulannya yang menyatakan bahwa efektivitas pemimpin dengan gaya yang berorientasi
pada manusia (people orientation) atau berorientasi pada tugas (task/production
orientation) bisa sangat tinggi jika sesuai dengan pengenalan pemimpin dilihat
dari 3 (tiga ) aspek :
1.
Bagaimana kondisi
hubungan pemimpin – bawahan?
Kondisi hubungan antara pemimpin dan anggota
kelompok dapat dikategorikan ke dalam: baik atau buruk.
Hubungan antara pemimpin dan bawahan yang
baikdicirikan oleh beberapa indicator seperti: suasana kerja yang harmonis,
kekeluargaan, kehadiran dalam pertemuan atasan-bawahan; sedangkan hubungan yang
kurang baik dicirikan dengan adanya pertentangan tertutup maupun terbuka yang
mengarah pada situasi kerja yang tidak baik.
2.
Apakah susunan
tugas yang melibatkan bawahan terpola atau tidak?
Semakin tinggi pola struktur tugas menandakan
bahwa tugas tersebut mempunyai petunjuk pelaksanaan (juklak) yang lebih jelas
dan rinci bila dibandingkan dengan tugas yang rendah pula strukturnya. Artinya,
tugas atau pekerjaan yang lebih rinci petunjuk pelaksanaannya memberi indikasi
bahwa tugas tersebut lebih mudah dikerjakan daripada pekerjaan atau tugas yang
belum terpola.
3.
Bagaimana
struktur kekuasaan dan apakah ada kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin?
Seoranng atasan diindikasikan memiliki
kekuasaan yang kuat bila si pemimpin memiliki kemampuan memengaruhi dengan baik
yang bersumber dari legalitas posisi yang dimilikinya. Penemuan ini menjadi
penting karena adanya unsur kekuasaan akan sangat berdekatan dengan struktur
dan praktik manajemen dalam organisasi tersebut.
Dengan kemampuan identifikasi ketiga aspek
tersebut, diharapkanb seorang pemimpin dapat memilih pendekatan yang efektif
dalam memimpin, apakah dengan orientasi tugas atau orientasi pada manusia.
Kelemahan Konseptual
Sejumlah studi
telah dilakukan selama beberapa puluh tahun terakhir untuk menguji teori
kontijensi Fiedler. Umumnya studi-studi ini dilakukan dalam periode tahun
1970 –an sampai dengan pertengahan 1985-an. Studi-studi seperti Mitchell, dkk
(1970); Wearing dan Bishop (1974); Garcie (1981); Peter, dkk (1985); dan lain
sebagainya.
Beberapa
penulis mengkritik kelemahan konseptual yang serius pada model ini. Nilai LPC
merupakan ukuran dalam pencarian makna (Schriesheim dan Kerr, 1977). Ashour
(1973) menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa model LPC benar-benar sebuah teoru
karena tidak menjelaskan bagaimana nilai LPC seorang pemimpin mempengaruhi
kinerja kelompok. Kekurangan perilaku pemimpin yang jelas dan variabel
pengganggu membatasi penggunaan model tersebut. Dan saat tidak ada variabel
perilaku, model tersebut tidak memberikan suatu bimbingan untuk melatij para
pemimpin untuk bagaimana beradaptasi dengan situasi (Dalam Yukl, 2005:255).
Nilai LPC Pemimpin
Nilai LPC ditentukan dengan meminta seorang
pemimpin untuk memikirkan semua rekan kerja di masa lalu maupun saat ini,
memilih siapa yang paling sulit bekerja sama dengan pemimpin, dan memberikan
peringkat orang ini pada seperangkat skala bipolar (contoh, bersahabat-tidak
bersahabat, kooperatif-tidak kooperatif, efisien-tidak efisien). Nilai LPC
adalah jumlah peringkat pada skala sifat bipolar ini. Seorang pemimpin yang
kritis dalam memberikan peringkat rekan kerja yang paling tidak disukai akan
memperileh nilai LPC yang rendah, sedangkan seorang pemimpin yang toleran akan
mendapatkan nilai LPC yang tinggi.
Interpretasi dari nilai LPC telah berubah
beberapa kali dalam tahun-tahun belakangan. Menurut interpretasi terbaru dari
Fiedller (1978), nilai LPC menunjukkan hierarki motif seorang pemmimpin.
Seorang pemimpin yang LPC-nya tinggi terutama termotivasi untuk memiliki hubungan
antarpribadi yang dekat dengan orang lain, termasuk bawahan, dan ia akan
bertindak dengan cara yag suportif dan peduli. Pemimpin dengan nilai LPC rendah
biasanya termotivasi oleh keberhasilan sasaran tugas dan mengutamakan perilaku
yang berorientasi tugas khususnya pada waktu timbul permasalahan tugas.
Variabel Situasional
Hubungan antara nilai LPC pemimpin dengan
efektivitas bergantung pada sebuah variable situasional yang disebut
situational favorability, yang didefinisikan sebagai suatu jarak dimana situasi
memberikan seorang pemimpin suatu kendali atas bawahannya. Tiga aspek situasi
tersebut adalah:
1. Hubungan
Pemimpin–Anggota
Batasan
dimana pemimpin memiliki dukungan dan kesetiaan dari para bawahan, dan hubungan
dengan para bawahan bersahabat dan kooperatif.
2. Kekuasaan
posisi
Batasan
di mana pemimpin memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja bawahan dan
memberikan penghargaan dan hukuman.
3. Struktur
Tugas
Batasan
di mana terdapat standar prosedur operasi untuk menyelesaikan tugas, sebuah gambaran
rinci dari produk atau jasa yang telah jadi, dan indikator objektif mengenai
seberapa baiknya tugas itu dilaksanakan.
Tabel 10. Hubungan dalam Model Kontingensi LPC
Fiedler
Hubungan dalam Model Kotingensi LPC
|
||||
Oktan
|
Hubungan P-A
|
Struktur Tugas
|
Kekuasaan posisi
|
Pemimpin yang efektif
|
1
|
Baik
|
Terstruktur
|
Kuat
|
LPC rendah
|
2
|
Baik
|
Tidak terstruktur
|
Lemah
|
LPC rendah
|
3
|
Baik
|
Tidak terstruktur
|
Kuat
|
LPC rendah
|
4
|
Baik
|
Tidak terstruktur
|
Lemah
|
LPC rendah
|
5
|
Buruk
|
Terstruktur
|
Kuat
|
LPC tinggi
|
6
|
Buruk
|
Terstruktur
|
Lemah
|
LPC tinggi
|
7
|
Buruk
|
Tidak terstruktur
|
Kuat
|
LPC tinggi
|
8
|
Buruk
|
Tidak terstruktur
|
Lemah
|
LPC rendah
|
Hubungan kausal dalam Model LPC Kontingensi
b.
Path-Goal
Theory
Evans (1970), House (1971) merumuskan suatu
teroi yang mengelaborasikan versi yang mencakup variabel situasional. Menurut
House (1971, p.234), “Fungsi motivasional pemimpin terdiri dari pembayaran
pribadi yang semakin meningkat bagi para bawahan atas pencapaian sasaran kerja
dan membuat jalur untuk pembayaran ini menjadi lebih mudah dijalani dengan
menjernihkannya, dengan mengurangi hambatan jalan dan lubang, dan sambil
berjalan juga meningkatkan kesempatan untuk kepuasan pribadi.” Menurut House
dan Dessler (1974, p.13) “Perilaku pemimpin akan dipandang dapat diterima oleh
bawahan hingga batas di mana para bawahan melihat perilaku demikian sebagai
sumber kepuasan segera atau sebagai instrumen untuk kepuasan mendatang.”
Satu teori yang digunakan bagaimana seorang
pemimpin dapat mempengaruhi kepuasan dan upaya bawahannya adalah Teori Harapan.
(Georgopolous, Mahoney & Jones, 1957; Vroom, 1964). Teori harapan
menjelaskan motivasi kerja dalam hal sebuah proses pilihan rasional di mana
seseorang memutuskan seberapa banyak upaya yang akan diberikan bagi pekerjaan pada
suatu waktu tertentu. Dalam memilih antara upaya maksimal dan upaya minimal
(atau menengah), seseorang mempertimbangkakn kemungkinan bahwa suatu tingkat
upaya tertentu akan mengarah kepada penyelesaian tugas dengan berhasil dan
kemungkinan bahwa penyelesaian tugas akan memberikan hasil yang diinginkan
(kenaikan gaji, pengakuan, promosi, rasa keberhasilan) sambil menghindari hasil
yang tidak diinginkan (pemberhentian, kecelakaan, teguran, penolakan oleh rekan
kerja, tekanan berlebihan). Keuntungan yang dirasakan dari sebuah hasil disebut
“harapan” (expectancy), dan keinginan dari sebuah hasil disebut “valensi”nya
(valence).
Teori ini menggabungkan aspek penting dari
kepemimpinan transformasional dan karismatik.
Kelemahan Konseptual
Teori
jalur-sasaran juga memiliki beberapa kekurangan konseptual yang membatasi
penggunaannya. Secara umum, kelemahan terbesar adalah penggunaan teori harapan
sebagai dasar utama untuk menjelaskan pengaruh pemimpin. Model keputusan
rasional ini memberikan gambaran mengenai perilaku manusia yang terlalu
kompleks dan kelihatan tidak realistis (Behling & Starke, 1973; Mitchell,
1974; Schriesheim & Kerr, 1977) Teori harapan tidak mempertimbangkan reaksi
emosional terdapat dilema keputusan, seperti penolakan atau distorsi dari informasi
yang relefan tentang harapan dan valensi.
Keterbatasan
konseptual lainnya adalah kepercayaan pada kategori luas dari perilaku pemimpin
yang tidak terlalu sesuai dengan proses yang menengahi. Diasumsikan bahwa
ambiguitas peran akan menyebabkan seorang memiliki harapan yang rendah secara
tidak realistis, dan bahwa perilaku pemimpin yang menghasilkan kejelasan yang
lebih besar secara otomatis akan meningkatkan harapan.
Meski terdapat banyak keterbatasan, teori jalur
tujuan telah membuat kontribusi yang penting bagi studi kepemimpinan dengan
memberikan sebuah kerangka kerja konseptual untuk memandu para peneliti agar
dapat mengidentifikasikan variabel situasinonal yang berpotensi relevan. Dari
sisi positif, model ini merupakan perbaikan dari teori trait dan perilaku.
Model ini berusaha menunjukkan faktor mana yang mempengaruhi motivasi untuk
melakukan kinerja. Selain itu, pendekatan ini memperkenalkan faktor situasi dan
perbedaan individu dalam menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan dengan
aspek sikap (motivasi, penerimaan dan kepercayaan)
Variabel Situasional
Variabel Situasional
Menurut path-goal theory, pengaruh dari
perilaku pemimpin pada kepuasan dan upaya bawahan bergantung pada aspek
situasi, termasuk karakteristik tugas dan karakteristik bawahan. Variable ini
menentukan:
·
Potensi meningkatkanya motivasi bawahan dan
cara di mana pemimpin harus bertindak untuk meningkatkan motivasi.
·
Pilihan bawahan akan sebuah pola perilaku
kepemimpinan tertentu, yang mempengaruhi dampak dari pemimpin terhadap kepuasan
bawahan.
KESIMPULAN
Fiedler
(1973, 1977) telah menjawab kecaman, dan perdebatan mengenai faliditas model
itu masih berlanjut. Namun, ketertarikan dalam teori itu telah melemah seiring
waktu saat teori situasional yang lebih baik telah di kembangkan. Model kontingensi
LPC adalah salah satu dari teori kontingensi
paling awal dari kepemimpinan, dari kontribusi utamanya mungkin untuk mendorong
ketertarikan yang lebih besar pada faktor-faktor situasional.
Sebuah
teori situasional didukung oleh sebuah pola hasil yang konsisten dengan ususlan
dari teori itu. Jika teori itu mendalilkan sebuah rantai sebab akibat dari
pengaruh rangkaian dari perilaku pemimpin untuk menggagu variabel terhadap
hasil, hasilnya harus konsisten dengan penjelasan ini. Sayangnya, kebanyakan
teori kontingensi dinyatakan secara begitu ambigu sehingga menyulitkan untuk
mendapatkan usulan khusus yang dapat di uji. Kebanyakan penelitian hanya
memberikan ujian atas teori itu. Secara umum, penelitian menderita akibat
kurangnya ukuran yang akurat dan bergantung pada rancangan penelitian yang
lemah yang tidak mengizinkan kesimpulan yang kuat tentang arah dari hubungan
sebab akibat itu.
Para pemimpin yang amat cerdas terkadang
membuat keputusan yang buruk saat berada di bawah tekanan, karena tekanan yang
tinggi, membuat aspek kognitif terganggu dan tidak mampu berfokus pada tugas.
Di bawah tekanan yang rendah, kecerdasan yang tinggi memang mampu menghasilkan
rencana dan kepustusan yang baik, karena kemampuan intelektual tersebut
membuatnya mampu menganalisis masalah dan menemukan solusi yang baik. Namun, di
bawah tekanan yang tinggi, kecerdasaan pemimpin tidak dapat diterapkan.
Aspek pengalaman, berhubungan secara positif
dengan kualitas keputusan di bawah tekanan antarpribadi yang tinggi, namun
tidak berhubungan dengan kualitas keputusan di bawah tekanan yang rendah.
Sama seperti penelitian yang lainnya,
kesimpulan-kesimpulan ini masih memerlukan banyak uji validitas dan
reliabilitasnya.
REFERENSI
Robbins,
Stephen P. dan Mary Coulter. Manajemen. Jakarta: Erlangga. 2010. Jilid
I.
Griffin,
Ricky W. Manajemen. Jakarta: Erlangga. 2003. Jilid I.
Daft
, Richard L. Era Baru Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.2013. Jilid I.
Kato, Lina. Teori Awal Kepemimpinan Kontingensi. Diakses
dari http://www.ilmupsikologi.com/2015/08/teori-awal-kepemimpinan-kontingensi.html
pada 16 Maret 2016. 2015.
Posthink, Antho. Makalah Teori Kontingensi dari Kepemimpinan
yang Efektif. Diakses dari http://anthoposthink02.blogspot.co.id/2014/02/makalah-teori-kontigensi-dari.html pada 16 Maret 2016. 2014.
Basrah, Hendryadi. Path Goal Theory of Leadership. Diakses
dari https://www.academia.edu/5997222/Path_Goal_Theory_of_Leadership pada 16 Maret 2016. 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar