Page

Minggu, 20 Maret 2016

Pendekatan Kontingensi



RESUME
MANAJEMEN

PENDEKATAN KONTINGENSI

OLEH:
RISKA YANTY (15830074)


PROGRAM STUDI KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
PENGERTIAN
a.       Stephen P. Robbins dan Mary Coulter ► Sebuah pendekatan manajemen yang menyatakan bahwa setiap organisasi bersifat unik, menghadapi situasi-situasi yang berlainan (contingencies), dan membutuhkan cara pengelolaan yang berbeda-beda.
b.      Ricky W. Griffin ► Menyatakan bahwa perilaku manajerial yang sesuai dalam suatu situasi tertentu bergantung pada, atau kontingen terhadap, elemen unik dari situasi tersebut.
c.       Richard L. Daft ► Perluasan dari perspektif humanistik yang memandang keberhasilan penyelesaian masalah-masalah organisasi bergantung kepada pengenalan manajer akan variasi-variasi penting dari situasi yang dihadapi.
Keyakinan dasar pendekatan kontingensi adalah perilaku pemimpin yang efektif pada situasi tertentu belum tentu efektif dalam situasi lainnya.

TEORI AWAL KEPEMIMPINAN KONTINGENSI
a.      Model Kontingensi LPC
Teori Least Preferred Co-worker (LPC) (Fiedler, 1964, 1967) menjelaskan bagaimana situasi menengahi hubungan antara efekttivitas kepemimpinan dengan ukuran ciri yang disebut LPC Score (nilai rekan kerja yang paling tidak disukai).
Kajian Fred Fiedler pertengahan tahun 1975 (dalam Bangun dan Anggoro, 2012) telah menjadi suatu teori yang memberikan kontribusi penting terhadap keilmuan manajemen dan kepemimpinan melalui kesimpulannya yang menyatakan bahwa efektivitas pemimpin dengan gaya yang berorientasi pada manusia (people orientation) atau berorientasi pada tugas (task/production orientation) bisa sangat tinggi jika sesuai dengan pengenalan pemimpin dilihat dari 3 (tiga ) aspek :
1.      Bagaimana kondisi hubungan pemimpin – bawahan?
Kondisi hubungan antara pemimpin dan anggota kelompok dapat dikategorikan ke dalam: baik atau buruk.
Hubungan antara pemimpin dan bawahan yang baikdicirikan oleh beberapa indicator seperti: suasana kerja yang harmonis, kekeluargaan, kehadiran dalam pertemuan atasan-bawahan; sedangkan hubungan yang kurang baik dicirikan dengan adanya pertentangan tertutup maupun terbuka yang mengarah pada situasi kerja yang tidak baik.
2.      Apakah susunan tugas yang melibatkan bawahan terpola atau tidak?
Semakin tinggi pola struktur tugas menandakan bahwa tugas tersebut mempunyai petunjuk pelaksanaan (juklak) yang lebih jelas dan rinci bila dibandingkan dengan tugas yang rendah pula strukturnya. Artinya, tugas atau pekerjaan yang lebih rinci petunjuk pelaksanaannya memberi indikasi bahwa tugas tersebut lebih mudah dikerjakan daripada pekerjaan atau tugas yang belum terpola.
3.      Bagaimana struktur kekuasaan dan apakah ada kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin?
Seoranng atasan diindikasikan memiliki kekuasaan yang kuat bila si pemimpin memiliki kemampuan memengaruhi dengan baik yang bersumber dari legalitas posisi yang dimilikinya. Penemuan ini menjadi penting karena adanya unsur kekuasaan akan sangat berdekatan dengan struktur dan praktik manajemen dalam organisasi tersebut.
Dengan kemampuan identifikasi ketiga aspek tersebut, diharapkanb seorang pemimpin dapat memilih pendekatan yang efektif dalam memimpin, apakah dengan orientasi tugas atau orientasi pada manusia.
Kelemahan  Konseptual
Sejumlah studi telah dilakukan selama beberapa puluh tahun terakhir untuk menguji teori kontijensi Fiedler.  Umumnya studi-studi ini dilakukan dalam periode tahun 1970 –an sampai dengan pertengahan 1985-an. Studi-studi seperti Mitchell, dkk (1970); Wearing dan Bishop (1974); Garcie (1981); Peter, dkk (1985); dan lain sebagainya.
Beberapa penulis mengkritik kelemahan konseptual yang serius pada model ini. Nilai LPC merupakan ukuran dalam pencarian makna (Schriesheim dan Kerr, 1977). Ashour (1973) menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa model LPC benar-benar sebuah teoru karena tidak menjelaskan bagaimana nilai LPC seorang pemimpin mempengaruhi kinerja kelompok. Kekurangan perilaku pemimpin yang jelas dan variabel pengganggu membatasi penggunaan model tersebut. Dan saat tidak ada variabel perilaku, model tersebut tidak memberikan suatu bimbingan untuk melatij para pemimpin untuk bagaimana beradaptasi dengan situasi (Dalam Yukl, 2005:255).
Nilai LPC Pemimpin
Nilai LPC ditentukan dengan meminta seorang pemimpin untuk memikirkan semua rekan kerja di masa lalu maupun saat ini, memilih siapa yang paling sulit bekerja sama dengan pemimpin, dan memberikan peringkat orang ini pada seperangkat skala bipolar (contoh, bersahabat-tidak bersahabat, kooperatif-tidak kooperatif, efisien-tidak efisien). Nilai LPC adalah jumlah peringkat pada skala sifat bipolar ini. Seorang pemimpin yang kritis dalam memberikan peringkat rekan kerja yang paling tidak disukai akan memperileh nilai LPC yang rendah, sedangkan seorang pemimpin yang toleran akan mendapatkan nilai LPC yang tinggi.
Interpretasi dari nilai LPC telah berubah beberapa kali dalam tahun-tahun belakangan. Menurut interpretasi terbaru dari Fiedller (1978), nilai LPC menunjukkan hierarki motif seorang pemmimpin. Seorang pemimpin yang LPC-nya tinggi terutama termotivasi untuk memiliki hubungan antarpribadi yang dekat dengan orang lain, termasuk bawahan, dan ia akan bertindak dengan cara yag suportif dan peduli. Pemimpin dengan nilai LPC rendah biasanya termotivasi oleh keberhasilan sasaran tugas dan mengutamakan perilaku yang berorientasi tugas khususnya pada waktu timbul permasalahan tugas.
Variabel Situasional
Hubungan antara nilai LPC pemimpin dengan efektivitas bergantung pada sebuah variable situasional yang disebut situational favorability, yang didefinisikan sebagai suatu jarak dimana situasi memberikan seorang pemimpin suatu kendali atas bawahannya. Tiga aspek situasi tersebut adalah:
1.      Hubungan Pemimpin–Anggota
Batasan dimana pemimpin memiliki dukungan dan kesetiaan dari para bawahan, dan hubungan dengan para bawahan bersahabat dan kooperatif.
2.      Kekuasaan posisi
Batasan di mana pemimpin memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja bawahan dan memberikan penghargaan dan hukuman.
3.      Struktur Tugas
Batasan di mana terdapat standar prosedur operasi untuk menyelesaikan tugas, sebuah gambaran rinci dari produk atau jasa yang telah jadi, dan indikator objektif mengenai seberapa baiknya tugas itu dilaksanakan.
Tabel 10. Hubungan dalam Model Kontingensi LPC Fiedler

Hubungan dalam Model Kotingensi LPC




Oktan
Hubungan P-A
Struktur Tugas
Kekuasaan posisi
Pemimpin yang efektif
1
Baik
Terstruktur
Kuat
LPC rendah
2
Baik
Tidak terstruktur
Lemah
LPC rendah
3
Baik
Tidak terstruktur
Kuat
LPC rendah
4
Baik
Tidak terstruktur
Lemah
LPC rendah
5
Buruk
Terstruktur
Kuat
LPC tinggi
6
Buruk
Terstruktur
Lemah
LPC tinggi
7
Buruk
Tidak terstruktur
Kuat
LPC tinggi
8
Buruk
Tidak terstruktur
Lemah
LPC rendah

Hubungan kausal dalam Model LPC Kontingensi

b.      Path-Goal Theory
Evans (1970), House (1971) merumuskan suatu teroi yang mengelaborasikan versi yang mencakup variabel situasional. Menurut House (1971, p.234), “Fungsi motivasional pemimpin terdiri dari pembayaran pribadi yang semakin meningkat bagi para bawahan atas pencapaian sasaran kerja dan membuat jalur untuk pembayaran ini menjadi lebih mudah dijalani dengan menjernihkannya, dengan mengurangi hambatan jalan dan lubang, dan sambil berjalan juga meningkatkan kesempatan untuk kepuasan pribadi.” Menurut House dan Dessler (1974, p.13) “Perilaku pemimpin akan dipandang dapat diterima oleh bawahan hingga batas di mana para bawahan melihat perilaku demikian sebagai sumber kepuasan segera atau sebagai instrumen untuk kepuasan mendatang.”
Satu teori yang digunakan bagaimana seorang pemimpin dapat mempengaruhi kepuasan dan upaya bawahannya adalah Teori Harapan. (Georgopolous, Mahoney & Jones, 1957; Vroom, 1964). Teori harapan menjelaskan motivasi kerja dalam hal sebuah proses pilihan rasional di mana seseorang memutuskan seberapa banyak upaya yang akan diberikan bagi pekerjaan pada suatu waktu tertentu. Dalam memilih antara upaya maksimal dan upaya minimal (atau menengah), seseorang mempertimbangkakn kemungkinan bahwa suatu tingkat upaya tertentu akan mengarah kepada penyelesaian tugas dengan berhasil dan kemungkinan bahwa penyelesaian tugas akan memberikan hasil yang diinginkan (kenaikan gaji, pengakuan, promosi, rasa keberhasilan) sambil menghindari hasil yang tidak diinginkan (pemberhentian, kecelakaan, teguran, penolakan oleh rekan kerja, tekanan berlebihan). Keuntungan yang dirasakan dari sebuah hasil disebut “harapan” (expectancy), dan keinginan dari sebuah hasil disebut “valensi”nya (valence).
Teori ini menggabungkan aspek penting dari kepemimpinan transformasional dan karismatik.
Kelemahan Konseptual
Teori jalur-sasaran juga memiliki beberapa kekurangan konseptual yang membatasi penggunaannya. Secara umum, kelemahan terbesar adalah penggunaan teori harapan sebagai dasar utama untuk menjelaskan pengaruh pemimpin. Model keputusan rasional ini memberikan gambaran mengenai perilaku manusia yang terlalu kompleks dan kelihatan tidak realistis (Behling & Starke, 1973; Mitchell, 1974; Schriesheim & Kerr, 1977) Teori harapan tidak mempertimbangkan reaksi emosional terdapat dilema keputusan, seperti penolakan atau distorsi dari informasi yang relefan tentang harapan dan valensi.
Keterbatasan konseptual lainnya adalah kepercayaan pada kategori luas dari perilaku pemimpin yang tidak terlalu sesuai dengan proses yang menengahi. Diasumsikan bahwa ambiguitas peran akan menyebabkan seorang memiliki harapan yang rendah secara tidak realistis, dan bahwa perilaku pemimpin yang menghasilkan kejelasan yang lebih besar secara otomatis akan meningkatkan harapan.
Meski terdapat banyak keterbatasan, teori jalur tujuan telah membuat kontribusi yang penting bagi studi kepemimpinan dengan memberikan sebuah kerangka kerja konseptual untuk memandu para peneliti agar dapat mengidentifikasikan variabel situasinonal yang berpotensi relevan. Dari sisi positif, model ini merupakan perbaikan dari teori trait dan perilaku. Model ini berusaha menunjukkan faktor mana yang mempengaruhi motivasi untuk melakukan kinerja. Selain itu, pendekatan ini memperkenalkan faktor situasi dan perbedaan individu dalam menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan dengan aspek sikap (motivasi, penerimaan dan kepercayaan)

Variabel Situasional
Menurut path-goal theory, pengaruh dari perilaku pemimpin pada kepuasan dan upaya bawahan bergantung pada aspek situasi, termasuk karakteristik tugas dan karakteristik bawahan. Variable ini menentukan:
·         Potensi meningkatkanya motivasi bawahan dan cara di mana pemimpin harus bertindak untuk meningkatkan motivasi.
·         Pilihan bawahan akan sebuah pola perilaku kepemimpinan tertentu, yang mempengaruhi dampak dari pemimpin terhadap kepuasan bawahan.
KESIMPULAN
Fiedler (1973, 1977) telah menjawab kecaman, dan perdebatan mengenai faliditas model itu masih berlanjut. Namun, ketertarikan dalam teori itu telah melemah seiring waktu saat teori situasional yang lebih baik telah di kembangkan. Model kontingensi LPC  adalah salah satu dari teori kontingensi paling awal dari kepemimpinan, dari kontribusi utamanya mungkin untuk mendorong ketertarikan yang lebih besar pada faktor-faktor  situasional.
Sebuah teori situasional didukung oleh sebuah pola hasil yang konsisten dengan ususlan dari teori itu. Jika teori itu mendalilkan sebuah rantai sebab akibat dari pengaruh rangkaian dari perilaku pemimpin untuk menggagu variabel terhadap hasil, hasilnya harus konsisten dengan penjelasan ini. Sayangnya, kebanyakan teori kontingensi dinyatakan secara begitu ambigu sehingga menyulitkan untuk mendapatkan usulan khusus yang dapat di uji. Kebanyakan penelitian hanya memberikan ujian atas teori itu. Secara umum, penelitian menderita akibat kurangnya ukuran yang akurat dan bergantung pada rancangan penelitian yang lemah yang tidak mengizinkan kesimpulan yang kuat tentang arah dari hubungan sebab akibat itu.
Para pemimpin yang amat cerdas terkadang membuat keputusan yang buruk saat berada di bawah tekanan, karena tekanan yang tinggi, membuat aspek kognitif terganggu dan tidak mampu berfokus pada tugas. Di bawah tekanan yang rendah, kecerdasan yang tinggi memang mampu menghasilkan rencana dan kepustusan yang baik, karena kemampuan intelektual tersebut membuatnya mampu menganalisis masalah dan menemukan solusi yang baik. Namun, di bawah tekanan yang tinggi, kecerdasaan pemimpin tidak dapat diterapkan.
Aspek pengalaman, berhubungan secara positif dengan kualitas keputusan di bawah tekanan antarpribadi yang tinggi, namun tidak berhubungan dengan kualitas keputusan di bawah tekanan yang rendah.
Sama seperti penelitian yang lainnya, kesimpulan-kesimpulan ini masih memerlukan banyak uji validitas dan reliabilitasnya.
REFERENSI
Robbins, Stephen P. dan Mary Coulter. Manajemen. Jakarta: Erlangga. 2010. Jilid I.
Griffin, Ricky W. Manajemen. Jakarta: Erlangga. 2003. Jilid I.
Daft , Richard L. Era Baru Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.2013. Jilid I.

Kato, Lina. Teori Awal Kepemimpinan Kontingensi. Diakses dari http://www.ilmupsikologi.com/2015/08/teori-awal-kepemimpinan-kontingensi.html pada 16 Maret 2016. 2015.
Posthink, Antho. Makalah Teori Kontingensi dari Kepemimpinan yang Efektif. Diakses dari http://anthoposthink02.blogspot.co.id/2014/02/makalah-teori-kontigensi-dari.html pada 16 Maret 2016. 2014.
Basrah, Hendryadi. Path Goal Theory of Leadership. Diakses dari https://www.academia.edu/5997222/Path_Goal_Theory_of_Leadership pada 16 Maret 2016. 2014.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar